Akses komunikasi yang baik terutama di masa pandemi Covid-19 saat ini, menjadi sesuatu hal yang sangat penting terutama bagi masyarakat dan anak sekolah yang tinggal di kawasan hinterland, atau pulau terluar.

Namun nyatanya, gampangnya akses komunikasi ternyata masih belum dapat dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat Pulau Jaloh, Kelurahan Gelam, Kecamatan Bulang, Batam, Kepulauan Riau.

Untuk dapat mencapai pulau ini, anda dapat menggunakan jasa boat pancung dari pelabuhan rakyat Sagulung, dengan harga Rp 30 ribu per orang dan lama perjalanan sekitar satu jam.

Menjadi salah satu pulau terluar di Batam, yang berdekatan dengan batas wilayah antara Indonesia dan Singapura, mayoritas warga di Pulau ini berprofesi sebagai nelayan.

“Untuk akses keluar dan masuk ke pulau ini, saat ini sudah tidak sesulit dulu. Adapun yang masih sulit di pulau ini hanya akses komunikasi saja. Tinggal di pulau ini, tidak guna handphone mahal, yang penting kemampuan menangkap jaringan telekomunikasi saja,” ungkap Irman (35) salah satu warga Pulau Jaloh saat ditemui di pelabuhan.

Hal ini sendiri terbukti, dengan menghilangnya sinyal telekomunikasi saat anda tiba di pelantar pelabuhan.

Beberapa warga yang terlihat berada di pelabuhan, bahkan menyarankan pengunjung baru, untuk mencari dataran tinggi terlebih dahulu, apabila ingin melakukan komunikasi melalui telepon genggam nya.

“Kalau handphone nya bagus nangkap jaringan, biasanya di sudut pelantar ini udah dapat sih. Kalau handphone baru emang begitu, susah nangkap sinyal. Makanya mayoritas warga sini biasa pakai handphone jenis lama,” jelasnya sambil tersenyum.

Namun, dengan adanya kebijakan dari pemerintah pusat mengenai sekolah daring atau online, hal ini kemudian membawa kesulitan tersendiri bagi warga, terutama yang saat ini memiliki anak.

Sulitnya akses jaringan telekomunikasi ini, membuat para anak yang tengah sekolah daring, setiap harinya harus mencari dataran tinggi, hanya untuk sekedar mengikuti jadwal pembelajaran sekolahnya.

“Tempat favorit anak-anak di lapangan sebelah sana, itu tepat di dekat bendungan yang baru dibangun Pemerintah Kota,” paparnya.

Walau demikian, proses belajar mengajar secara daring ini biasanya hanya diikuti oleh anak sekolah yang telah duduk di bangku Sekolah Menegah Atas (SMA).

Sementara bagi anak yang duduk di bangku SD dan SMP, hingga saat ini masih tetap menjalankan pembelajaran tatap muka.

“Karena di pulau ini gak ada SMA, hanya ada SD dan SMP saja. Untuk anak kami yang di SD dan SMP, masih belajar tatap muka di rumah gurunya masing-masing,” terang Irman.

Keluhan sulitnya akses telekomunikasi di pulau tersebut, juga diakuinya sudah sering disampaikan kepada Pemerintah Kota (Pemko) Batam, baik melalui kunjugan Wali Kota Batam, Muhammad Rudi.

Ataupun melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang), yang biasanya dilakukan Pemko Batam.

“Tapi realisasinya tidak pernah ada. Kami juga sudah capek menyampaikan hal yang sama terus menerus,” sesalnya.

Warga lain yang ditemui, mengaku saat ini warga Pulau Jaloh sudah tidak memprioritaskan pembangunan fisik, yabg selalu digadang-gadang oleh Pemko Batam.

Kesulitan akses komunikasi para warga, harusnya menjadi prioritas khusus, terutama di masa pandemi ini kebijakan sekolah daring juga masih tetap dijalankan.

“Kasian anak saya, setiap pagi harus ke bendungan hanya untuk sekolah. Karena dia sudah SMA, jadi memang harus online. Karena SMA di kecamatan Bulang ini hanya ada di Pulau Pecung,” tegas Irma (29) salah satu ibu rumah tangga yang ditemui di Pulau Jaloh.

Irma mengatakan pihaknya sudah sejak lama meminta dan mengusulkan kepada pemerintah kota Batam agar memberi solusi agar di dirikan sebuah tower sinyal agar jaringan internet bisa diakses pihaknya serta dapat mendukung anak-anaknya untuk belajar.

“Anak saya kalo mau sekolah kan harus menyeberang, karena di sini tidak ada SMA,” ujarnya.

Editor: WIL

Caption: Anak asli Pulau Jaloh yang baru kembali membantu orangtuanya yang merupakan nelayan. F.WIL