Afghanistan sedang dilanda krisis politik dan kemanusiaan, setelah Taliban kembali menguasai sejumlah kota besar di sana.
Dalam unggahan foto dan video yang beredar di media massa dan media sosial, kekacauan dan kesedihan terlihat di penjuru negara.

Mengutip tulisan dari REUTERS pada Senin (16/8), Taliban bisa melakukan aksinya karena memiliki dana besar.

Sejumlah badan intelijen asing memperkirakan Taliban memiliki sumber finansial mandiri yang setidaknya menghasilkan US$300 juta (Rp4,3 triliun) hingga US$1,6 miliar (Rp23 triliun) per tahun.

Meski demikian, badan-badan intelijen itu mengatakan tidak mungkin dapat menghitung secara akurat berapa banyak aset yang dimiliki Taliban saat ini.

Ironisnya, berdasarkan laporan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Juni 2021 lalu, sebagian besar uang itu didapat Taliban dari berbagai jenis aktivitas kriminal seperti produksi opium, perdagangan dan penyelundupan narkoba, pemerasan, penculikan, dan pembajakan.

Dalam laporan DK PBB itu, salah satu badan intelijen memaparkan Taliban mampu meraup US$460 juta atau Rp6,6 triliun dari penjualan narkoba saja.

Hingga kini, Afghanistan masih tetap menjadi pemasok opium ilegal terbesar di dunia. Dan hal itu diprediksi akan terus meningkat ketika Taliban berkuasa.

Subur ladang opium di Afghanistan
Opium adalah getah bahan baku narkotika yang diperoleh dari buah candu (Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum) yang belum matang. Setelah disuling, getah ini menjadi bahan baku berbagai narkoba, salah satu yang populer ialah heroin.

Opium biasanya ditanam di pegunungan kawasan subtropis. Di samping dampak buruknya, bunga opium atau bunga popi yang sedang mekar berwarna kemerahan dan indah dipandang.

Mengutip data Survei Opium Afghanistan 2020 dari Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), total area budidaya opium di Afghanistan sekitar 224 ribu hektare pada tahun 2020, yang merupakan peningkatan 37 persen atau 61 ribu hektare jika dibandingkan dengan 2019.

Bisa dibilang, hampir seluruh provinsi provinsi utama di Afghanistan memiliki ladang opium. Wilayah barat daya tetap menjadi wilayah penghasil opium utama negara itu, yang menyumbang 71 persen dari total produksi opium di Afghanistan.

Jumlah provinsi bebas opium di negara itu menurun dari 13 menjadi 12 pada 2020, dengan Provinsi Kapisa di timur laut kehilangan status bebas opium.

Dari data yang terkumpul, potensi produksi opium di Afghanistan diperkirakan bisa mencapai 6.300 ton. Tak heran jika Taliban bisa menambah jumlah tentara dan senjata.

Segitiga emas perdagangan opium
Pada Desember 2017, CNNIndonesia.com sempat melakukan liputan di Chiang Rai, Thailand.
Hampir sama dengan Afghanistan – dan masalah perdagangan opium di Pakistan, kota wisata yang terkenal dengan Kuil Putih dan konservasi gajahnya ini ternyata juga sempat “berdarah” akibat “duit opium”.

Jejak opium di Chiang Rai dikenang dalam sejarah Golden Triangle (Segitiga Emas). Warga lokal yang diajak berbincang mengenai sejarah opium di kotanya akan dengan santai menceritakan versinya masing-masing.

Tapi semuanya menganggap opium layaknya hasil kebun biasa, sama seperti padi atau tembakau, karena memang sebegitu banyaknya kebun opium di sini pada zaman dahulu kala.

Golden Triangle merupakan kawasan segitiga emas penjualan opium yang meliputi Thailand, Myanmar, dan Laos.

Pusat jual beli opium berada di setiap sudut tiga negara ini, terutama yang memiliki akses lalu lintas sungai, seperti Chiang Rai yang dilintasi Sungai Mekong dan Sungai Ruak.

Di pertemuan dua sungai ini jarak antarnegara bak selemparan batu. Pembeli dan penjual opium dari Thailand, Myanmar, dan Laos akhirnya bisa saling bertemu.

Dibingkai oleh pegunungan bersuhu dingin dan tersembunyi, kawasan Chiang Rai memang sangat cocok dijadikan ladang menumbuhkan bonggol bunga popi.

Sebelum populer menjadi bahan baku heroin dan narkoba sintetis lainnya, pada era Sebelum Masehi masyarakat di Mesopotamia mengonsumsi opium untuk relaksasi.

Opium dicampur dengan teh atau minuman alkohol untuk menghibur diri. Ibu-ibu biasanya mengoleskan opium di putingnya agar sang bayi bisa menyusu sampai tidur.

Namun, kegunaan opium berubah semenjak tiba di China pada abad ke-14. Masyarakat di sana menggunakan opium sebagai bahan merokok sampai mabuk.

Pemerintah China lalu menjual opium kepada pemerintah Inggris sebagai alat tukar hutang.

Karena terjadi kesalahpahaman pembayaran hutang yang berujung pada keinginan China untuk melakukan monopoli perdagangan opium di dunia, terjadilah dua kali Perang Opium pada abad ke-18, yang mengakibatkan China memberikan Hong Kong untuk Inggris.

Hingga abad ke-19, opium menjadi narkoba populer. Walau telah dilarang oleh pemerintah, namun kelompok gerilya di Myanmar dan Laos berusaha menanam dan memanennya, sehingga hasil penjualan opium bisa mendanai pemberontakan mereka. Petani di Thailand juga ikut dalam lingkaran setan itu, dengan maksud menambah penghasilan.

Perang berlalu, perdagangan opium masih berlanjut. Jumlah masyarakat yang terdera ketergantungan narkotika juga semakin meningkat. Khun Sa disebut sebagai Raja Opium dari Myanmar, sebelum akhirnya ia ditangkap pada tahun 1996.

Golden Triangle hari ini
Saat ini Golden Triangle tak lagi ramai oleh kelompok gerilya dan petani yang saling bertransaksi opium.
Di sepanjang pinggiran Sungai Mekong dan Sungai Ruak sudah berdiri pasar, tempat makan, sampai hotel mewah yang menjual pemandangan Golden Triangle beserta sejarahnya.

Selain fasilitasnya yang lengkap – tamu bahkan trekking ke konservasi gajah – pemandangan “ke tiga negara” membuat harga tarif kamar hotel ini selangit, mulai dari Rp19 jutaan per malam.

Paket wisata menyusuri sungai yang membelah Golden Triangle juga menjadi salah satu paket wisata yang ditawarkan.

Rutenya mulai dari Istana Doi Tung, susur Sungai Mekong dan Ruak, sampai ke Museum Opium.

Istana Doi Tung, yang merupakan rumah peristirahatan keluarga Kerajaan Thailand, bagai berada di atas awan, karena pemandangannya selalu berkabut.

Hawanya juga dingin, sehingga kata pemandu wisata dulu banyak warga yang diam-diam menanam opium di sekitar istana.

Usai puas keliling istana, pemandu wisata mengantar CNNIndonesia.com untuk wisata susur sungai Golden Triangle naik kapal motor kayu.

Air sungai yang kecoklatan sempat menjadi saksi bisu mayat-mayat yang mengambang hasil kejahatan opium.

Kapal lalu menuju ujung Laos, di mana pasar tradisionalnya menjual berbagai macam wine dari hewan berbisa, mulai dari kalajengking sampai ular.

Setelah berfoto di depan papan ‘Welcome to Laos’, pemandu wisata mengajak CNNIndonesia.com ke Museum Opium. Di sini, segala sejarah mengenai Golden Triangle tersaji, lengkap dengan instalasi pelaku opium yang lumayan mengerikan.

Dengan kekayaan alam dan sejarahnya, sudah pasti Chiang Rai bisa menjadi destinasi wisata yang patut dikunjungi saat pelesir di Thailand usai pandemi wisata berlalu.

Editor : Aron
Sumber : cnnindonesia