Satgas Waspada Investasi (SWI) mewaspadai masuknya fintech lending atau pinjaman online (pinjol) ilegal dari India. Pasalnya, India tengah gencar memberantas kemunculan pinjol ilegal.

“Kalau kita lihat informasi di India saat ini sangat gencar melakukan pemberantasan pinjol ilegal juga, nah kami takut bukan hanya covid-19 yang keluar dari India, pinjol ilegal ini juga bisa masuk ke Indonesia nanti,” ujar Ketua SWI Tongam L. Tobing dalam webinar Memerangi Pinjol Ilegal dan Memperkuat Reputasi Fintech Lending, Jumat (30/7).

Kekhawatiran Tongam itu didasarkan temuan bahwa pinjol ilegal bisa menjangkau konsumen lintas negara. Dari total 3.365 pinjol ilegal yang diblokir SWI dari 2018 hingga Juli 2021, lokasi servernya tersebar lintas negara tidak hanya di Indonesia.

Misalnya, 14 persen berasal dari AS, Singapura 8 persen, China 6 persen, Malaysia 2 persen, Hong Kong 1 persen, dan mayoritas atau 44 persen tidak diketahui asal negaranya. Sedangkan, lokasi server pinjol ilegal di Indonesia sebesar 22 persen dari total pinjol ilegal yang diblokir.

“Pinjol ilegal ini sekarang sedang cari pasar, karena diburu di Indonesia mencari pasar ke darah Amerika Latin, Meksiko. Jadi, ini memang lintas negara mencari masyarakat yang butuh dana, masih kurang teredukasi, dan akses ke layanan jasa keuangan memang tidak begitu bagus,” imbuhnya.

Namun, jumlah pinjol ilegal yang diblokir SWI terus berkurang setiap tahunnya. Pada 2019 lalu, satgas memblokir 1.493 pinjol ilegal, lalu turun di 2020 menjadi 1.026. Sementara, sejak Januari hingga Juli 2021, jumlah pinjol ilegal yang diblokir sebanyak 442 entitas.

“Kalau lihat perkembangannya memang 2019 sangat tinggi, kemudian kami rem 2020 dan 2021 ini menjadi berkurang karena memang secara masif kami lakukan pemberantasan baik pada pelaku maupun edukasi masyarakat,” tuturnya.

Ia menegaskan pemblokiran itu bukan solusi jangka panjang pemberantasan pinjol ilegal di Indonesia. Hal yang paling utama adalah kewaspadaan dan literasi masyarakat terhadap pinjol ilegal ini. Pasalnya, masyarakat Indonesia masih membutuhkan akses kepada pendanaan yang mudah dijangkau.

Sebagai gambaran, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengungkapkan gap (selisih) penawaran dan kebutuhan pembiayaan di Indonesia mencapai Rp1.650 triliun per tahun. Selisih tersebut diperoleh dari data kebutuhan kredit masyarakat Indonesia dari OJK mencapai Rp2.650 triliun per tahun, sedangkan lembaga keuangan baru bisa memenuhi sebesar Rp1.000 triliun per tahun.

“Artinya, ada kapasitas kebutuhan untuk menerima atau membutuhkan pinjaman tapi tidak terlayani oleh lembaga keuangan konvensional,” ujar Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah dalam diskusi Praktek Fintech Pendanaan Legal vs Pinjaman Online Ilegal beberapa waktu lalu.

Editor: Nul

Sumber: cnnindonesia