Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) mengatur pasal terkait tindak pemerkosaan atau rudapaksa yang dilakukan suami terhadap istri, maupun sebaliknya.

Dalam Pasal 479 RKUHP disebutkan bahwa setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

Tindak pidana perkosaan itu, antara lain perbuatan persetubuhan dengan cara kekerasan memaksa seseorang karena orang tersebut percaya bahwa orang yang disetubuhinya itu merupakan suami/istrinya yang sah.

“Norma demikian (kriminalisasi perkosaan dalam rumah tangga) sudah dipraktikkan di banyak negara,” kata Eva Kusuma Sundari kepada Antara.

Eva berpendapat bahwa penyusunan RUU KUHP benar dan komprehensif akan membantu UU yang lex specialis agar tidak dobel dan tidak memberi ruang yang malah menyebabkan ketidakadilan terhadap korban, baik anak-anak, perempuan, maupun laki-laki.

“Jadi, KUHP itu pentingnya di situ karena dia sebagai payung untuk rujukan yang lain, misalnya Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (yang kini masih berupa RUU PKS),” kata Eva yang pernah sebagai anggota Komisi III (Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan) DPR RI.

Eva juga mengingatkan bahwa Indonesia lebih dari 20 tahun berada pada tahun emergency (keadaan darurat) kejahatan seksual.

Menurut dia, kalau ada undang-undang yang tegas yang fair bagi korban, akan sangat membantu Indonesia keluar dari jebakan tahun-tahun kekerasan yang emergency kejahatan seksual.

Ia lantas menyebutkan data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terkait dengan angka pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 tercatat 299.911 kasus.

Ditambah lagi, lanjut Eva, kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan yang paling menonjol di ranah pribadi sepanjang tahun lalu dengan jumlah 1.983 kasus, atau berada di posisi kedua setelah kekerasan fisik 2.025 kasus.

“Jadi, saya mendukung pasal rudapaksa masuk dalam RUU KUHP karena ini tidak dibenarkan oleh agama maupun konstitusi demi menjunjung values kemuliaan rumah tangga,” katanya.

Editor : Aron
Sumber : cnnindonesia