Bertahun-tahun tak muncul dan selalu menolak diwawancara media sejak pensiun, Sintong Panjaitan mengajak kumparan kembali ke Orde Baru. Obrolan panjang di Wisma Mulia, Jakarta Selatan, Februari lalu, mengukir sederet kisah republik dari kacamata pelaku sejarah.
Sintong bercerita mulai dari Operasi Woyla, Insiden Santa Cruz, hingga detik demi detik Tragedi 1998 yang menyimpan sejarah kelam Indonesia.
Fisiknya masih sangat fit untuk ukuran pria 80 tahun. Saban hari, Sintong selalu jalan kaki minimal 10 ribu langkah. Tiap kali makan, wajib ada sayur, jarang sekali mengkonsumsi daging merah atau ayam.
Ingatannya pun masih tajam. Eks Pangdam Udayana ini mengurai detail satu demi satu peristiwa penting yang ia lalui selama menjadi prajurit yang mengabdi selama 30 tahun–20 tahun sebagai prajurit Kopassus.
Wawancara Khusus Sintong Panjaitan: Woyla, Timor Timur, hingga Tragedi 98 (1)
Letnan Jenderal TNI (Purn) Sintong Panjaitan. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Eks Danjen Kopassus ini berperan dalam sederet operasi militer bersejarah: peletak embrio pembentukan satuan antiteror pertama TNI di era 80-an, perebutan RRI saat G30S/PKI, ekspedisi Lembah X, hingga memimpin operasi pembebasan 48 penumpang dari pesawat DC-9 Woyla di Bandara Don Muang, Thailand.
Karier pria kelahiran Tarutung, 4 September 1940 tersebut berakhir ketika insiden penembakan Santa Cruz Timor Timur meletus. Sintong dicopot sebagai Pangdam IX/Udayana karena dianggap tak mampu mengendalikan situasi. Setelah diam bertahun-tahun usai dicopot, Sintong bicara soal apa yang sebenarnya terjadi saat insiden tersebut.
Versi Sintong, penembakan dalam insiden Santa Cruz bukan dilakukan pasukannya. Ada ‘pasukan siluman’ dari Jakarta yang menembaki massa pro-kemerdekaan Timor Timur saat itu.
Menjadi perwira tinggi non-job usai dicopot, karier Sintong ‘diselamatkan’ Panglima TNI kala itu, Jenderal Feisal Tanjung. Ia diminta menjadi staf ahli Menteri Riset dan Teknologi, BJ Habibie, pada 1994. Dari situ, hubungan keduanya terjalin erat.
Sintong terus menemani Habibie sampai akhir karier Habibie sebagai Presiden ketiga RI: mulai dari reformasi ABRI menjadi TNI, saat Tragedi 1998, bahkan hingga Habibie dicemooh dan ditolak MPR.
Lalu apa cerita Sintong? Berikut cuplikan wawancara kumparan bersama Sintong:
Wawancara Khusus Sintong Panjaitan: Woyla, Timor Timur, hingga Tragedi 98 (2)
Letnan Jenderal TNI (Purn) Sintong Panjaitan (kiri) bersama Presiden ke-2 RI Soeharto. Foto: Dok. Pribadi
Anda berapa lama berkecimpung di Kopassus?
Dari seluruh dunia, di Kopassus, saya yang paling lama. Saya mulai dari letnan dua, sampai Brigjen, tidak pernah pindah, di situ saja. Saya enggak tahu mengapa diberikan kesempatan seperti itu.
Anda dulu ditugaskan menjadi Pangdam Udayana dan memimpin operasi Timor Timur?
Saya diperintahkan untuk menyelesaikan Timor Timur. Penyelesaian Timor Timur.
Itu sebetulnya sudah sangat baik sekali, saya itu kecewa bukan main [dengan Soeharto], karena waktu itu Timor Timur masih daerah tertutup.
Jadi waktu itu Timor Timur masih daerah tertutup tapi sudah mulai berhasil di pertanian, itu dilakukan operasi teritorial. Satu-satunya operasi teritorial saya yang buat, sebelumnya perang melulu.
Saat Operasi Teritorial diterapkan, pendatang masuk dan terjadi persaingan dengan warga lokal?
Betul. Karena keleluasaan itu, turis semua boleh masuk. Dan terjadilah di situ, terjadi frustrasi, karena anak-anak sekolah dari dulu kerja di kebon, tapi pas lulus SMA dia enggak mau kerja di kebon lagi. Jadi pendatang paling banyak. Pembangunan sudah bagus, tapi frustrasinya juga nambah.
Begitu dibuka, datanglah orang-orang Barat, mulailah politik-politikan, organisasi di mana mana, tempurlah di situ. Sudah terjadi demikian, maka terbentuklah perlawanan terorganisir semua dari pemuda-pemuda yang sekolah itu. SMA enggak ada kerjaan, mau apa?
Dia mau ke Surabaya [untuk kerja], dari mana uangnya? Lucunya juga dari luar datang pegawai-pegawai negeri itu, terjadilah suatu frustrasi. Sudah Pak Harto putuskan beneran terbuka Timor Timur, di situlah, saya kan Panglima Udayana, kok, langsung memutuskan terbuka tanpa persetujuan saya.
Lalu terjadi demonstrasi terus menerus dan berujung Santa Cruz?
Awalnya karena kita mengundang DPR-nya Portugis, di situlah sudah persiapan orang-orang (pemberontak) ini.
Profil Sintong Panjaitan. Foto: Fahmi Afrizal/kumparan
Soal Insiden Santa Cruz, Anda tak memberi instruksi anggota untuk menembak?
Tidak. Tapi memang sungguh-sungguh terjadi, ada gerakan ya.
Versi Anda, apa yang sebenarnya terjadi saat Insiden Santa Cruz pada 12 November 1991?
Jadi sebelumnya (28 Oktober), mereka (Pro-Kemerdekaan) membuat kumpul-kumpul, kalau mereka kumpul-kumpul itu biasanya di Gereja Moteal. Jadi mereka kumpul di gereja, orang-orang Pro-Kemerdekaan, jadi dilaporkan bahwa mereka kumpul-kumpul di sana, lalu datanglah satuan satuan intel.
Dari Jakarta?
Intel, ya. Jadi orang-orang ini (intel) sebetulnya mengatakan kita (Operasi Teritorial yang dilakukan Kodam Udayana) terlalu lunak, kurang keras dengan Timor Timur.
Tujuan intel ini datang ke Timor Timur apa?
Saya enggak tahu, saya enggak ngerti, tapi tujuannya itu seolah-olah ada ke saya. Takut mereka, di Timor Timur berhasil, saya yang akan naik [jabatan]. Padahal saat itu, sebenarnya saya sudah dibilang harus pindah jadi Asisten Operasi Panglima ABRI.
Hanya tinggal beberapa pekan sebelum Insiden Santa Cruz itu?
Hanya tinggal beberapa hari.
Mengapa Anda yakin pasukan Anda tidak menembak?
Itu mana ada berani yang nembak [pasukan di bawah Sintong]. Kan kita kuasai, kita sudah lengkap semua bersenjata, mereka paling-paling hanya pakai…–saya enggak percaya pasukan saya nembak. Mereka pakai pisau, memang iya.
Tembakan pertama dia, kedua, ketiga itu, dia (intel Jakarta). Jadi semua tembakan itu, ya, tembakan gelap. Matilah satu, lalu satu, jadi dua. Satu Prointegrasi, satu Pro-kemerdekaan. Lalu dikuburkan orang Timor Timur yang meninggal (Sebastiao Gomes). Saat itu, dirancanglah satu demo yang besar, dan saya rasa itu orang hutan juga sudah masuk ke situ. Jadi di situ sebenarnya meledakkan supaya terjadi chaos di situ. Jadi mereka jalan sampai teriak-teriak, demonya memang brutal.
Jadi setelah itu, mereka jalan, demo. Yang bikin celakanya itu, itu Komandan Kodim itu Mayor Gerhan Lantara. Dia tantang semua orang itu, sendirian, ini, kok, perwira begitu. Jadi saya enggak mengerti di mana heroiknya itu, jatuhlah dia. Marahlah pasukan ini, jadi ada tembakan. Lari lah semua ini.
Selama ini Anda yang disalahkan, tapi menurut Anda yang memicu adalah intel dari Jakarta?
Jadi ada satgas intel ini. Semua itu kita yang menyulut [di insiden Santa Cruz], bukan demonstran, [tapi] pasukan siluman itu.
Pasukan intel dari Jakarta, di luar pasukan bapak?
Intel.
Anda menjadi korban politik saat itu?
Saya rasa korbannya di situ. Saya sudah pindah itu kan, naik lagi ke atas (jadi Asisten Operasi Pangab).
Anda dendam dicopot usai Insiden Santa Cruz?
Saya tidak dendam karena apa? Dari situ, saya dapat Habibie. Saya bersyukur jadi kenal Habibie. Hubungan kami seperti kakak dan adik.
Dia orang pintar tapi enggak tahu soal tentara. Jadi kalau orang ilmuwan ngomong sama dia, dibantah semua. Tapi kalau dia ngomong sama saya, diterima semua.
Wawancara Khusus Sintong Panjaitan: Woyla, Timor Timur, hingga Tragedi 98 (4)
Letnan Jenderal TNI (Purn) Sintong Panjaitan. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Bagaimana menurut Anda soal Tragedi 1998?
Kalau saya (pemimpinnya), itu saya pecat semua. Masa intelnya tidak tahu? Saya tak percaya mereka tidak tahu. Kalau tidak tahu, harusnya dipecat juga. Kenapa lari ke Malang?
Lalu, Anda jadi saksi saat Prabowo menemui Habibie usai dicopot?
Ya, saat itu Prabowo dicopot sebagai Pangkostrad. Lalu datanglah Prabowo ke Istana bertemu Habibie. Sampailah dia sudah pergantian itu. Jadi waktu dicek itu, saya cek ke KSAD. Jadi waktu itu senjata Prabowo dilucuti karena tidak boleh ada senjata di Istana.
Lalu ngomong mereka berdua. Saya lihat sudah kelamaan, 10 menit mungkin. Saya lihat Habibie agak hati-hati sama Prabowo. Terus saya datang: Eh, Wo, pulang sekarang Presiden banyak tamu. Ini sudah terlalu lama Pak, Wo pulanglah. Entah bagaimana pak Habibie bilang: sebentar-sebentar.
Prabowo minta ‘tolong saya jangan dipecat, berikanlah saya waktu berapa bulan’. ‘Tidak bisa’, kata Habibie, ditawar lagi, tidak bisa.
Anda juga menjadi mediator antara BJ Habibie dan Gus Dur?
Gus Dur dengan Pak Habibie enggak cocok. Pak Habibie itu Ketum ICMI. Jadi enggak pernah ini berdua ketemu (cocok).
Jadi waktu itu, Luhut telepon saya, kan mau ada pemilihan presiden. “Bang, Gus Dur kan mau ketemu Pak Habibie, tolonglah bang supaya dia bisa bertemu di Istana Negara.”
Saya ngomong sama dia (Habibie): “Pak, ini Gus Dur ingin jumpa dengan Presiden.”
Dia diam. Sesudah itu kembalilah Pak Habibie, beliau ngomong: “Pak Sintong, enggak usah.” Saya bilang, lho, kenapa. “Ah, enggak bagus Pak Sintong, kalau kita bilang A, tahu tahu B, enggak usahlah.”
Terus saya datangi lagi, saya bilang: “Pak, enggak boleh seperti itu, Pak Presiden. Jangan contoh Pak Harto. Di situ kekurangan Pak Harto harus kita perbaiki. Kenapa? Kalau Pak Harto tidak senang sama orang, sudah, putus ini. Tapi, ini orang terkenal ini (Gus Dur), orang hebat ini, Pak. Bapak harus terima.”
Itu pertama kali saya ditolak, lalu saya pulang sorenya, eh ditelepon Habibie.
“Pak Sintong, saya sudah salat, Pak Sintong benar, kita terima. Saya pikir-pikir, Pak Sintong, kita terima. Tapi Pak Sintong, ketemunya bukan di Istana Negara. Saya bilang mau di warung kopi enggak masalah, sesuka Bapak.
Saat Sidang Istimewa MPR, Anda menyarankan Habibie tidak usah maju lagi jadi Presiden?
Iya. Tapi, Pak Habibie enggak setuju sama saya. Saya bilang: “Pak, Bapak sudah bekerja menyelamatkan negara ini. Bapak sudah selesai [jadi Presiden]. Nanti semua berdiri, semua tepuk tangan itu, karena bapak enggak maju lagi.
Hati sanubari saya mengatakan: Bapak ini, sudah era baru, reformasi, enggak usah ikut lagi. Bapak sudah antar negara ini. Tapi Pak Habibie masih bingung juga, kayak masih mau juga. Saya bilang kalau Pak Habibie tidak ikut lagi, pasti orang akan bertepuk tangan. Begitu masuk ditolaklah.
Jadi kegagalan saya masih belum mampu meyakinkan beliau karena semuanya di sekeliling meyakinkan beliau maju lagi. Kalau enggak maju lagi pasti semua tepuk tangan, dianggap pahlawan demokrasi Indonesia.
Sebagai senior TNI, konsep alutsista yang tepat untuk Indonesia seperti apa?
Kita beli sesuatu yang bagus itu mesti ada tujuannya. Karena ini bagus [makanya] dibeli. Untuk apa disimpan-simpan semua peralatan angkatan bersenjata. Tank, panser, di Indonesia hanya rusak semua di garasi, enggak pernah ikut perang apa pun di Indonesia.
Kalau di Eropa itu tanahnya begitu, jadi ke mana-mana bisa lewat tank. Sekarang kita mau ke Bandung, paling paling lewat mana itu? Enggak ada guna itu tank.
Kita defensif aktif, kalau mereka datang, tahan dulu di pantai. Di gunung, kalau musuh sudah kelelahan, kita serbu. Itu dipakai dari dulu sampai sekarang, perlu. Jadi melihat manusia dan persenjataan yang banyak itu terlalu mahal, terlalu mahal.
Editor : Aron
Sumber : kumparan