Dewan Energi Nasional (DEN) menyebut Indonesia sudah memasuki fase 1 dari siklus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sesuai syarat Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).

Namun, Anggota DEN Satya Widya Yudha mengatakan untuk menyelesaikan fase 1, IAEA mensyaratkan RI memenuhi 19 item dari posisi saat ini merampungkan 16 item.

Artinya, masih tersisa tiga item yang belum dipenuhi, yaitu posisi nasional Indonesia, pembentukan Organisasi Pelaksana Program Tenaga Nuklir atau NEPIO yang memonitor implementasi energi nuklir, dan mengenai keterlibatan seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat.

“Kalau Indonesia sudah memenuhi sisa tiga item yang disyaratkan IAEA pada fase 1 itu, maka Indonesia bisa masuk pada fase Go Nuklir,” ujar Satya dalam webinar Nuclear as Clean & Sustainable Energy, mengutip Antara, Jumat (19/2).

Sesuai Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2014, sambung dia, pemanfaatan nuklir di RI menjadi opsi terakhir, setelah masalah keselamatan kerja, keselamatan operasi, dan pengaruh radiasi yang membahayakan sudah terselesaikan.

“Artinya, apabila kita bisa menanggulangi permasalahan itu, maka pembangkit nuklir dimungkinkan dibangun di Indonesia,” imbuh dia.

Satya menuturkan energi nuklir merupakan energi bersih, ramah lingkungan, dan berkelanjutan dibandingkan bentuk energi lainnya.

Keuntungan nuklir, menurut dia, tidak ada pembakaran, tetapi melalui pembelahan atom, sehingga tidak mengeluarkan gas CO2 atau NH4.

Selain itu juga nuklir memerlukan lahan paling sedikit, sehingga tidak mengganggu ekosistem, membutuhkan paling sedikit bahan bangunan dan bahan bakar, memiliki paling sedikit limbah, serta tidak membahayakan atau membunuh satwa liar ketika beroperasi.

Pun demikian, Satya menyebut DEN masih akan mengevaluasi KEN 2014 dan menyesuaikan dengan kondisi terkini.

Sesuai Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, KEN dapat ditinjau kembali paling cepat setelah lima tahun apabila dipandang perlu.

KEN 2014 telah berumur lebih dari enam tahun. Menurut Satya, urgensi penyusunan kembali KEN karena asumsi makro yang digunakan sudah tidak sesuai.

“Asumsi pertumbuhan ekonomi yang dipakai saat itu di kisaran 7-8 persen. Saat ini sudah berbeda. Ditambah lagi kondisi pandemi covid-19 menekan perekonomian kita, sehingga revisi KEN sangat dimungkinkan,” tandasnya.

Editor : Aron
Sumber : cnnindonesia