Kekhawatiran muncul seiring dengan terbentuknya Lembaga Pengelola Investasi (LPI) di Indonesia. Pasalnya, lembaga serupa di negara tetangga malah menjadi ladang skandal korupsi dari pejabat negara.

Pengalaman buruk pada lembaga 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di negeri jiran dikhawatirkan bisa terulang di Indonesia. Merespons kekhawatiran tersebut, Sri Mulyani Indrawati yang juga merupakan dewan pengawas ex-officio LPI menjamin hal itu tidak akan terjadi.

LPI yang akan mengelola dana Sovereign Wealth Fund di Indonesia ini tidak akan berujung seperti 1MDB dan menjadi ladang tindak korupsi.

Sri Mulyani menjelaskan, dirinya dan Menteri BUMN Erick Thohir yang juga menjabat dewan pengawas ex-officio sangat selektif memilih dewan pengawas dari pihak profesional dan juga direksi di LPI.

Dia mengatakan semua yang direkrut merupakan orang yang akan menjanjikan profesionalitasnya untuk menjaga SWF tidak mengalami tata kelola yang bermasalah.

“Saya bersama dengan Erick Thohir sebagai dua ex officio dalam SWF ini dalam merekrut seluruh dewan pengawas dan direksi titik terberatnya mencari orang yang menjanjikan dan memberikan keseluruhan profesionalitas mereka untuk menjaga SWF ini tidak mengalami kondisi tata kelola yang bisa menimbulkan risiko,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, Selasa (16/2/2021).

Dia mengatakan pihaknya juga akan rutin melakukan evaluasi semua langkah pengambilan keputusan, sehingga LPI tetap menjadi institusi dengan tata kelola yang baik.

“Kita akan menciptakan check and balance dalam decision making process baik dewan pengawas dan board of director dengan upaya maksimal dan tujuan baik yang akan menjaga SWF menjadi institusi yang baik, sound, dan memiliki tata kelola yang kuat,” ujar Sri Mulyani.

Sebelumnya, lembaga investasi dengan model yang sama dengan LPI di Malaysia, 1MDB menimbulkan kehebohan. Pasalnya lembaga tersebut ternyata dijadikan wadah korupsi.

Yang paling mencengangkan, korupsi itu dilakukan oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak saat masih menjabat. Bahkan kasusnya itu menjadi kasus korupsi terbesar di negeri jiran.

Dari catatan detikcom, 1MDB merupakan perseroan terbatas publik yang sepenuhnya berada di bawah kendali Kementerian Keuangan Malaysia.

Lembaga ini didirikan untuk membiayai pembangunan ekonomi jangka panjang, dengan menjalin kemitraan global dan juga mendukung penanaman modal asing atau foreign direct investment (FDI). 1MDB didirikan pada 2009 oleh Mantan Perdana Menteri Najib Razak.

Bahkan, bank kelas dunia Goldman Sachs tersandung kasus suap di Malaysia. Cabang Goldman Sachs di Negeri Jiran terbukti melakukan pencucian uang sebesar US$ 6,5 miliar atau sekitar Rp 95 triliun (kurs Rp 14.739) dari dana 1Malaysia Development Berhad (1MDB), dan dialirkan pada sejumlah pejabat Malaysia.

Kasus suap itu berawal ketika Goldman mengatur 3 penerbitan obligasi terbesar dari dana 1MDB sebesar Rp 95 triliun. Melalui proyek itu, Goldman memperoleh US$ 600 juta atau sekitar Rp 8,84 triliun sebagai bentuk biaya jasanya.

Dua mantan bankir Goldman yakni Roger Ng and Tim Leissner. Ng dituduh membantu pencucian uang dari dana 1MDB tersebut hingga US$ 2,7 miliar atau sekitar Rp 39 triliun. Keduanya akan diadili pada Maret 2021.

Hasil suap dan pencucian itu digunakan untuk membeli kondominium di New York, hotel, yacht, dan pesawat jet.

Mega skandal itu menyebabkan Goldman harus membayar denda hingga US$ 2,9 miliar atau sekitar Rp 42 triliun ke berbagai otoritas, yakni US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 19 triliun ke Departemen Kehakiman AS.

Goldman juga harus membayar denda kredit ke berbagai negara dengan total mencapai US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp 75 triliun. Namun, Goldman kemungkinan akan menghadapi hukuman sipil lainnya karena melanggar UU anti-penyuapan di AS itu.

Sementara itu, Goldman juga sepakat membayar denda pada pemerintah Malaysia sebesar US$ 3,9 miliar atau sekitar Rp 57 triliun.

Editor : Aron
Sumber : detik