Pandemi virus Corona membuat dunia pariwisata tampil dengan tren yang baru. Sekarang semua harus serba digital dan tak ada kontak.

Hal ini diungkapkan oleh Chairman Indonesia Tourism Forum Sapta Nirwandar, dalam webinar Kesiapan Sektor Pariwisata dan Upaya Pemanfaatan Teknologi dalam Smart Tourism di Era Pandemi – Sinkronisasi Kebijakan Pusat dan Kesiapan Pemangku Kepentingan Pariwisata di Daerah yang diadakan oleh Universitas Prasetiya Mulya.

“Dampak dari COVID-19 adalah adanya perubahan perilaku dan yang meningkat adalah digital,” ujar mantan wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif periode 2011-2014 ini.

Pariwisata memang yang paling terdampak di era pandemi. Kini sudah sangat terasa untuk traveling saja ada beberapa syarat yang diberikan. Menurut Sapta yang paling terlihat adalah travel restriction (karantina), travel bubble, internasional health certification (paspor vaksin), perubahan perilaku dan purchasing power.

“Travel bubble enggak mudah seperti New Zealand-Australia. Yang dimasalahkan vaksin paspor, sekarang lagi debat karena pihak pariwisata agak keberatan karena menghambat orang traveling. Tapi juga belum ada standar yang sama seperti yang terjadi di kita, ada rapid, antigen, swab dan GeNose,” jelasnya.

Sapta mengatakan bahwa strategi yang paling tepat adalah teknologi yang melibatkan sedikit kontak. Kemudian juga pariwisata berkelanjutan yang kini digaungkan oleh banyak negara.

Indonesia punya satu keunggulan yaitu mode wisata halal. Merujuk kepada keterangan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, wisata halal yang dimaksudkan adalah adanya pelayanan syariah di tempat wisata. Bukan menghalalkan destinasinya.

“Strategi pariwisata halal dalam era new normal yaitu, behavior change, kebijakan strategis pemerintah dan action plan (reopening destinasi dan lokal domestik dan internasional), health & safety protocol tourism industry (3a), education, communication and marketing (menumbuhkan kepercayaan dan kenyamanan), butuh investasi baru (touch less dan contact less), new businness model in product & service (IT dan aktivitas outdoor), tanggung jawab bersama pemangku kepentingan,” paparnya.

Sementara itu yang sudah dilakukan oleh Indonesia adalah sertifikasi CHSE. Pelaku pariwisata diminta agar menjadi penerima vaksin pertama agar cepat menumbuhkan sektor ini.

“Yang perlu dilakukan adalah digitalisasi profil destinasi wisata. Belum semua destinasi memiliki informasi yang lengkap, belum semua destinasi memiliki pemandu untuk turis, masih banyak keindahan super lokal yang masih belum terdata atau bisa dibilang the hidden paradise,” jelasnya.

Seperti yang kita tahu, tren wisata di tengah pandemi sedikit berubah. Di antaranya adalah lockdown in paradise, walking tour video, voluntourism, staycation, glamping, digital nomad, transformative travel, experience tourism, solo travel, wellness travel, bleisure (businnes leisure) travel, serta virtual reality. “Nah, kita sekarang genjot domestik tourism. Tapi kita dari Jakarta menuju ke daerah lain aja beda-beda syaratnya. Jadi perlu adanya kesatuan,” tutupnya.

 

Editor : Parna

Sumber : detiknews