Menteri BUMN Erick Thohir memutuskan untuk mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ 1.000 yang digunakan oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk ke Nordic Aviation Capital (NAC). Ini dilakukan sebagai langkah mengakhiri lebih awal (early termination) kontrak operating lease atau sewa pesawat tersebut mulai 1 Februari 2021 lalu, dari perjanjian semula yang jatuh tempo pada 2027 mendatang.

“Saya dengan tegas dan Pak Irfan (Dirut Garuda Indonesia) dengan manajemen sangat mendukung kami putuskan untuk mengembalikan 12 pesawat bombardier CRJ 1000 untuk mengakhiri kontrak kepada Nordic Aviation Capital (NAC yang memang jatuh tempo 2027,” ujarnya, Rabu (10/2).

Erick menyatakan keputusan tersebut diambil secara sepihak oleh Kementerian BUMN dan Garuda Indonesia. Pasalnya, negosiasi yang dilakukan oleh Garuda Indonesia tidak mendapatkan sambutan positif dari pihak NAC.

“Proses negosiasi ini tentu sudah terjadi berulang antara Garuda dan NAC dan tentu ini niat baik kami. Tapi sayangnya early termination ini belum mendapatkan respons dari mereka,” jelasnya.

Erick mengungkapkan sejumlah alasan Kementerian BUMN dan Garuda Indonesia memutuskan untuk mengakhiri kontrak tersebut.

Pertama, operasional 12 Bombardier CRJ 1.000 tersebut justru merugikan pihak Garuda Indonesia.

Kedua, Kementerian BUMN mempertimbangkan penyelidikan Serious Fraud Office (SFO) Inggris terhadap pabrikan Bombardier, yakni Bombardier Inc atas atas dugaan suap dan korupsi terkait kesepakatan sewa pesawat dengan Garuda Indonesia.

Sebelumnya, diberitakan Serious Fraud Office (SFO) Inggris sedang menyelidiki perusahaan pembuat pesawat dan kapal dari Kanada Bombardier Inc atas dugaan suap dan korupsi terkait kesepakatan dengan maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang melibatkan mantan direktur utama Emirsyah Satar.

Peninjauan ini, lanjutnya, dilakukan setelah pengadilan Indonesia memvonis Emirsyah pada Mei lalu atas kasus korupsi.

“Kami mempertimbangkan tata kelola perusahaan yang baik, tarnsparan, akuntabilitas, dan profesional namun juga melihat dari keputusan KPK dan penyelidikan Serious Fraud Office (SFO) Inggris terhadap indikasi pidana suap dari pihak pabrikan kepada oknum pimpinan Garuda saat proses pengadaan pesawat pada 2011,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama Direktur Utama GAruda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan operasional 12 Bombardier CRJ 1.000 selama 7 tahun ini menimbulkan kerugian sebesar rata-rata lebih dari US$30 juta per tahun. Sementara sewa pesawatnya sendiri, senilai US$27 juta.

“Jadi kami keluarkan setiap tahun untuk sewa pesawat US$27 juta untuk 12 pesawat tersebut, tapi kami mengalami kerugian lebih dari US$30 juta,” katanya.

Ia memperkirakan Garuda Indonesia bisa menghemat kurang lebih US$220 juta dengan pengembalian tersebut.

Irfan juga mengaku pihak Garuda Indonesia bersiap untuk semua konsekuensi yang muncul dari kesepakatan sepihak tersebut.

“Kami manajemen menyadari sekali pembatalan secara sepihak ini mungkin akan ciptakan konsekuensi terpisah namun demikian secara profesional kami menyatakan siap tangani konsekuensi tersebut secara profesional,” katanya.

 

Editor : Parna

Sumber : cnnindonesia