Kudeta Myanmar menuai kecaman dan ancaman dari berbagai pihak, termasuk dari Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Biden mengancam akan memberlakukan kembali sanksi terhadap Myanmar dan menyerukan dunia internasional untuk menekan militer Myanmar agar melepaskan kekuasaan.

Biden mengutuk pengambilalihan kekuasaan oleh militer dan penahanan pemimpin terpilih dan peraih Nobel, Aung San Suu Kyi. Kudeta disebut sebagai serangan langsung terhadap transisi negara menuju demokrasi dan supremasi hukum.

Krisis di Myanmar menandai ujian besar pertama atas janji Biden untuk lebih banyak berkolaborasi dengan sekutu dalam tantangan internasional, terutama akibat meningkatnya pengaruh China. Sikap itu kontras dengan pendekatan ‘America First’ yang sering dilakukan mantan Presiden Donald Trump.

“Komunitas internasional harus bersatu dalam satu suara untuk menekan militer Burma (Myanmar) agar segera melepaskan kekuasaan yang telah mereka rebut, membebaskan para aktivis dan pejabat yang ditangkap,” kata Biden dalam sebuah pernyataan dilansir dari Reuters, Selasa (2/2/2021) .

Beberapa dekade terakhir, AS telah mencabut sanksi terhadap Myanmar berdasarkan kemajuan menuju demokrasi. Perubahan ini membutuhkan tinjauan segera atas otoritas dan undang-undang sanksi kami, diikuti dengan tindakan yang tepat,” katanya.

Biden memperingatkan bahwa AS memperhatikan orang-orang yang mendukung rakyat Burma di saat yang sulit ini.

“Kami akan bekerja dengan mitra kami di seluruh kawasan dan dunia untuk mendukung pemulihan demokrasi dan supremasi hukum, serta meminta pertanggungjawaban mereka untuk membatalkan transisi demokrasi Burma,” katanya.

Biden meminta militer di Myanmar untuk mencabut semua pembatasan telekomunikasi dan menahan diri dari kekerasan terhadap warga sipil.

Seorang pejabat AS kemudian mengatakan kepada Reuters bahwa pemerintah telah melakukan diskusi internal untuk menyusun tanggapan seluruh pemerintah dan berencana untuk berkonsultasi dengan Kongres.

Analis memperingatkan bahwa pengaruh AS terbatas.

Greg Poling dan Simon Hudes dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional Washington mengatakan hampir pasti akan ada sanksi baru AS terhadap mereka yang terlibat dalam kudeta.

“Tapi itu tidak mungkin berdampak langsung pada para jenderal,” kata mereka, mengingat hanya sedikit dari mereka yang berniat bepergian atau berbisnis di Amerika Serikat.

Berbeda dengan kudeta 2014 di Thailand, AS tidak dapat menarik kembali latihan militer, pelatihan, dan penjualan, karena hubungan militer-ke-militer dengan Myanmar hampir tidak ada.

Mantan Presiden Barack Obama mulai mengurangi sanksi terhadap Myanmar pada 2011 setelah militer mulai melonggarkan cengkeramannya, dan pada 2016 mencabut banyak pembatasan yang tersisa. Pada 2019, pemerintahan Trump menjatuhkan sanksi pada empat komandan militer, termasuk pemimpin kudeta, Jenderal Min Aung Hlaing, atas tuduhan pelanggaran terhadap Muslim Rohingya dan minoritas lainnya.

Partai Demokrasi Liga Nasional (NLD) yang menaungi Suu Kyi menang 83 persen suara dalam pemilihan umum 8 November 2020 lalu. Militer Myanmar menyebut pengambilalihan itu sebagai tanggapan atas kecurangan pemilu tersebut.

Juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan Washington melakukan percakapan intensif dengan sekutu. Dia menolak mengatakan apakah akan mempertimbangkan tindakan lain selain pemberian sanksi.

Pejabat tinggi Demokrat di Komite Hubungan Luar Negeri Senat, Robert Menendez, mengatakan Washington dan negara-negara lain harus memberlakukan sanksi ekonomi yang ketat, serta langkah-langkah lain terhadap militer Myanmar jika mereka tidak membebaskan para pemimpin terpilih dan menarik diri dari pemerintah.

Dia juga menuduh bahwa militer Myanmar bersalah atas genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya – keputusan yang belum ditetapkan oleh pemerintah AS – dan atas kampanye kekerasan berkelanjutan terhadap minoritas lainnya.

Pemimpin Senat AS dari Partai Republik, Mitch McConnell, yang memiliki hubungan dekat dengan Suu Kyi, menyebut penangkapan itu mengerikan dan mengatakan Washington perlu membebankan hukuman pada mereka yang berada di balik kudeta.

“Pemerintahan Biden harus mengambil sikap yang kuat dan mitra kami serta semua negara demokrasi di seluruh dunia harus ikut mengutuk serangan otoriter terhadap demokrasi,” katanya.

Peristiwa di Myanmar merupakan pukulan yang signifikan bagi pemerintahan Biden terkait upayanya untuk membentuk kebijakan Asia Pasifik untuk melawan China.

Banyak dari tim kebijakan Asia Biden, termasuk kepalanya, Kurt Campbell, adalah veteran pemerintahan Obama. Campbell meninggalkan jabatannya pada tahun 2016 dengan membantu mengakhiri pemerintahan junta militer di Myanmar sebagai pencapaian kebijakan luar negeri.

Editor : Aron
Sumber : detik