Otoritas Irak kembali melakukan eksekusi mati setelah serangan bom bunuh diri ISIS di sebuah pasar di Baghdad, ibu kota Irak. Eksekusi mati yang oleh kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia dianggap sebagai tindakan ‘unjuk kekuatan’ ini, disebut sebagai isyarat kepada publik bahwa Irak menanggapi masalah ISIS dengan serius.

Dilansir dari AFP, Selasa (26/1), hukuman gantung kepada 3 orang pelaku terorisme dilakukan setelah kelompok HAM mengkritik otoritas Irak. Irak disebut mungkin akan melakukan eksekusi mati massal sebagai sebuah ‘unjuk kekuatan’ terkait pemboman ISIS di Baghdad.

“Para pemimpin menggunakan pengumuman eksekusi massal hanya untuk memberi isyarat kepada publik bahwa mereka menanggapi (masalah ini) dengan serius,” kata Belkis Wille, peneliti senior krisis dan konflik di kelompok HAM, Human Rights Watch.

“Hukuman mati digunakan sebagai alat politik lebih dari apapun,” katanya kepada AFP.

Tiga orang dihukum gantung atas kasus terorisme, beberapa hari setelah serangan bom bunuh diri di sebuah pasar di Baghdad.

“Tiga orang yang dihukum berdasarkan Pasal 4 undang-undang anti teror, dieksekusi pada Senin (25/1) di penjara pusat Nasiriyah,” kata sumber keamanan itu kepada AFP.

Undang-undang tahun 2005 di Irak menjatuhkan hukuman mati bagi siapa pun yang dihukum karena “terorisme”. UU itu mencakup keanggotaan kelompok ekstremis meski mereka tidak dihukum atas tindakan tertentu.

Eksekusi mati disebut kelompok hak asasi hanya sebagai alasan politik.

Seorang pejabat kepresidenan Irak menyebut ada lebih dari 340 perintah eksekusi mati “untuk tindakan terorisme atau kriminal” siap untuk dilaksanakan.

“Kami terus menandatangani lebih banyak,” kata pejabat yang enggan disebut namanya itu.

Kecaman PBB atas Eksekusi Irak

Sejak deklarasi kemenangan Irak atas ISIS, pengadilan Irak telah menjatuhkan hukuman mati kepada ratusan orang yang terlibat selama serangan ISIS pada 2014. Saat itu ISIS menguasai sepertiga wilayah Irak selama tiga tahun. Tetapi hanya sedikit hukuman mati yang dilaksanakan, karena harus disetujui oleh presiden.

Kelompok-kelompok hak asasi menuduh sistem peradilan Irak korup, melakukan persidangan yang tergesa-gesa atas bukti tidak langsung dan gagal memberikan pembelaan yang tepat kepada para terdakwa.

Akhir tahun lalu, Komisioner Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet mengatakan bahwa dengan adanya kesenjangan seperti itu dalam sistem hukum Irak, penerapan hukuman mati “mungkin berarti perampasan nyawa secara sewenang-wenang oleh negara.”

Sumber peradilan mengatakan kepada AFP setidaknya 30 eksekusi mati terjadi pada tahun 2020. Eksekusi mati itu termasuk terhadap 21 pria yang dihukum karena “terorisme” dan dieksekusi di penjara Nasiriyah pada bulan November 2019.

Tindakan itu memicu kecaman dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyebut berita itu “sangat meresahkan” dan meminta Irak untuk menghentikan eksekusi yang direncanakan.

Editor : Aron
Sumber : detik