Bank Indonesia (BI) mencatat kredit yang disalurkan oleh perbankan per November 2020 tercatat minus 1,7% secara tahunan. Angka ini lebih dalam jika dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya 0,9%.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan ketahanan sistem keuangan masih tetap kuat, meskipun risiko dari meluasnya dampak COVID-19 terhadap stabilitas sistem keuangan terus dicermati.

“Intermediasi dari sektor keuangan masih lemah akibat pertumbuhan kredit yang terbatas sejalan dengan permintaan domestik yang belum kuat dan kehati-hatian perbankan akibat pandemi COVID-19,” kata Perry.

Ke depan, intermediasi perbankan diperkirakan akan membaik sejalan dengan prospek perbaikan kinerja korporasi dan pemulihan ekonomi domestik serta konsistensi sinergi kebijakan yang ditempuh.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jika hingga November 2020 perbankan berhasil menyalurkan kredit baru sebesar Rp 146 triliun. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan perusahaan-perusahaan besar cenderung menahan diri untuk melakukan pinjaman modal di bank.

“Sekarang ini lebih banyak pertumbuhan itu dari kredit juga didorong oleh UMKM ya,” kata dia (22/12) lalu.

Dia menjelaskan korporasi besar masih mengerem kredit karena sekarang belum menggenjot produksinya secara penuh. Sebab, permintaan konsumen belum begitu tinggi. Jadi jika produksi dipaksa dipacu hingga 100% dapat dipastikan tidak akan terbeli seluruhnya.

“Nah ini adalah irama yang harus bagaimana ini sejalan bahwa produksi juga harus digenjot lebih besar sejalan dengan peningkatan dari konsumsi,” sebutnya.

Dia mencontohkan, mulai dari hotel hingga pesawat sudah ada peningkatan dari sisi permintaan tapi belum optimal. Akhirnya pengusaha besar memilih untuk menunggu dan melihat situasi alias wait and see.

“Memang begitu kita masuk kepada perusahaan-perusahaan komersial maupun yang korporat besar ini masih ada nuansa wait and see karena masih belum bisa menggenjot produksinya,” jelas Wimboh.

Untuk menekan dampak pandemi COVID-19 OJK memiliki program restrukturisasi kredit di perbankan dan perusahaan keuangan lainnya. Program ini diharapkan bisa menekan kredit macet yang mengintai perbankan dan leasing di masa pandemi COVID-19.

Selain itu restrukturisasi juga diharapkan bisa membantu pelaku usaha agar bangkit dari pandemi COVID-19. Apalagi OJK kini memperpanjanag restrukturisasi kredit menjadi 2 tahun.

“Nah untuk itu, inilah yang sekarang ini ibaratnya pengusaha-pengusaha yang kita track terus sehingga bagaimana mempercepat para pengusaha ini untuk segera bangkit, dan kita kasih waktu lebih longgar yang tadinya kita restruktur hanya 1 tahun sampai dengan Maret 2021, sudah kita perpanjang menjadi Maret 2022,” tambahnya.

Hingga saat ini total restrukturisasi kredit di perbankan tembus Rp 934,8 triliun oleh 7,5 juta debitur. Namun, angkanya dianggap lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya.

“Jumlah ini sekitar 18% dari total kredit perbankan yang kita perkirakan mencapai 25%, ternyata nggak, lebih rendah,” kata dia.

Dia menilai saat ini realisasinya memang lebih rendah. Kalau pun ada yang melakukan restrukturisasi kredit, mereka adalah debitur kecil, yakni skala UMKM.

“Sekarang ini juga trennya sudah tidak ada (debitur) yang baru lagi (yang melakukan restrukturisasi), toh kalau ada kecil-kecil. Nah ini luar biasa, kita sehingga inilah yang sekarang kita jagain supaya cepat bangkit,” sebutnya.

Wimboh menyebutkan jumlah debitur UMKM mencapai 5,8 juta dengan nominal Rp 371,1 triliun.

 

Editor : Parna

Sumber : detikfinance