Sosok perempuan Indonesia bernama Moorissa Tjokro lagi ramai jadi bahan perbincangan lantaran kiprahnya pada dunia otomotif. Lulusan Georgia Institute of Technology dan Columbia University ini sekarang bekerja di perusahaan teknologi dan mobil listrik terkemuka, Tesla.

Profesinya di Tesla tidak sembarangan, dia bekerja sebagai Autopilot Software Engineer atau insinyur perangkat lunak autopilot di kantor pusat Tesla di San Francisco, California, Amerika Serikat (AS).

“Jadi sebagai Autopilot Software Engineer yang kami lakukan mencakup seperti gimana sih mobil itu dapat melihat dan mendeteksi lingkungan sekitar. Kemudian bermanuver ke kanan dan kiri, evaluasi serta testing,” kata Moorissa mengutip VOA Indonesia, Selasa (22/12).

“Ini penting jadi bikin sistem seaman mungkin buat mobil Tesla. Jadi sebelum diluncurkan itu kami selalu testing untuk menghitung risiko-risiko agar semua aman,” sambung dia.

Bersama rekan satu timnya, Moorissa bilang selalu bekerja mengembangkan dan meningkatkan sistem kendali untuk mobil Tesla. Bahkan saat ini dia terlibat langsung dalam pengembangan sistem full self driving, ini merupakan sistem otonom level lima atau paling tinggi sehingga mobil dapat bergerak tanpa campur tangan manusia.

Menurut Moorissa pekerjaan ini paling sulit selama ia berkecimpung di dunia engineer.

“Beberapa minggu lalu saya ditarik untuk bekerja bikin full self driving atau autonomous sistem level lima, jadi kita tidak perlu injak gas atau rem, bisa menikung, terus tidak hanya bisa digunakan di jalan tol saja. Jadi mobilnya kerja sendiri. Dan ini benar-benar susah banget,” ucap dia.

Pekerjaannya juga dikatakan tidak hanya menguras pikiran, melainkan juga waktu. Moorissa bilang bekerja paling tidak 60 jam hingga 70 jam selama sepekan menjadi hal biasa.

“Ya kerja jadi lebih banyak dari jam 10 pagi sampai 12 malam itu biasa. Di tim saya di autopilot 60-70 jam seminggu itu sangat normal,” katanya.

Mengikuti Jejak Sang Ayah

Meski begitu, perempuan kelahiran 1996 itu mengaku sangat menikmati pekerjaannya. Ia bilang sudah menyukai dunia ‘berhitung’ sejak kecil.

“Aku dari kecil suka matematika dan aljabar dan orang tua pengen aku masuk di tempat lebih sains,” kata dia.

Morrissa juga mengatakan profesinya kini terinspirasi sang ayah yang merupakan seorang insinyur.

“Ayahku, karena dia inspirasi, dia insinyur electric dan entrepreneur. Itu memang penuh tantangan tapi menyenangkan,” katanya.

Pengalamannya pada dunia engineer juga tak sebatas pada perusahaan Tesla. Jauh sebelum itu ia sudah malang melintang pada industri yang berkaitan dengan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Pada 2012-2013 ia sudah menjadi asisten pengajar di Georgia Institute of Technology untuk ilmu komputer dan statistik. Kemudian Morrissa menjadi asisten peneliti pada program pangan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 2013-2014.

Ia juga juga menjadi analis data di Target Marketeam, Inc pada Juli 2014-2016, magang di NBC Universal sebagai ilmuwan data Mei-Agustus 2017, dan asisten pengajar pascasarjana Mei 2017-Agustus 2017 di Columbia University.

Selain itu ia juga sempat magang di NASA Goddard untuk Studi Luar Angkasa 2017-2018, dan pada 2018 hingga sekarang bergabung di Tesla.

Awal Mula Bekerja di Tesla

Morrissa mengaku ‘tak sengaja’ bekerja di Tesla, sebab ia sendiri tak pernah melamar pekerjaan di sana.

“Jadi sekitar dua tahun lalu temenku intern [magang] di Tesla dan dia sempet ngirim resume ke timnya,” kata Morrissa.

Tak lama berselang ia kemudian dikontak langsung oleh manajemen Tesla karena mereka tertarik dengan pengalaman Morrissa.

“Dari situ aku tidak pernah apply dan langsung dikontak ama Teslanya sendiri, dan dari situ proses interview,” ucap Morrissa.

Selama bekerja, Morrissa mengaku sering bertemu dengan pendiri Tesla, yakni Elon Musk, meski secara langsung ia tak pernah berinteraksi.

“Interaksi tidak secara langsung. Tapi sering ketemu. Dan banyak bagian dari kerjaan saya untuk dia atau dipresentasikan ke dia [Musk],” cerita perempuan yang menggeluti dunia STEM (Sains, Teknologi, Teknik/Engineering, Matematika) ini.

Jarang Perempuan

Berdasarkan data National Science Foundation di Amerika Serikat, jumlah perempuan dengan gelar sarjana di bidang teknik dalam 20 tahun terakhir memang meningkat. Namun jumlahnya masih berada di bawah laki-laki.

Sementara organisasi nirlaba American Association of University Women yang bertujuan memajukan kesejahteraan perempuan melalui advokasi, pendidikan, dan penelitian menyebutkan jumlah perempuan yang bekerja di bidang STEM hanya 28 persen.

Organisasi ini juga menyatakan kesenjangan gender masih tinggi di beberapa pekerjaan dengan pertumbuhan tercepat dan dengan gaji yang tinggi di masa depan, di antaranya di bidang ilmu komputer dan teknik atau engineering.

Hal tersebut yang kemudian diamini Morrissa. Kata dia di Tesla hanya ada enam wanita dari 110 insinyur yang bekerja.

“Di tempat saya ada enam orang dari 110 engineer dan dua produk manager. Saya tidak tau statistik di luar atau di luar Tesla. Tapi 3-4 persen di otomotif mungkin sangat rendah,” ucap dia.

Ia tak mengetahui pasti mengapa statistik perempuan yang terlibat dalam di dunia teknik, khususnya otomotif ini masih sangat rendah. Tapi ia berharap ada dukungan sehingga perempuan terus maju.

“Mungkin kurangnya role model di dunia dan memicu kesusahan untuk memotivasi di dunia teknologi ini khususnya otomotif,” kata dia.

Ia pun berpesan kepada semua orang untuk dapat mengikuti kata hati agar dapat melakukan pekerjaan yang benar-benar dikehendaki.

“Kepada perempuan atau laki-laki yang menekuni bidang apapun, jadi walau banyak orang yang mungkin tidak setuju atau pikir keputusan kita bukan terbaik, tapi kalau kita follow heart ya tidak mungkin nyesel,” kata Morrissa.

Editor : Aron
Sumber : cnnindonesia