Survei Global Corruption Barometer (GCB) 2020 oleh Transparency International Indonesia (TII) menemukan hanya 51 persen publik menilai kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup baik dalam satu tahun terakhir.

Hasil tersebut sejalan dengan tren menurunnya tingkat kepercayaan publik imbas berlakunya Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Selain itu, survei ini juga menemukan penilaian publik terhadap kinerja pemerintah Indonesia dalam agenda pemberantasan korupsi yang dianggap stagnan. Dari survei GCB 2020 didapati bahwa 65 persen publik menilai kinerja pemerintah melakukan pemberantasan korupsi cukup baik. Angka itu tak jauh berbeda dengan survei GCB 2017 yakni 64 persen.Indikator mengenai kinerja lembaga antikorupsi merupakan sesuatu yang baru dalam GCB tahun ini.

Padahal, menurut survei, hampir setengah responden menilai tingkat korupsi meningkat selama satu tahun terakhir.

“Lebih dari 90 persen responden merasa korupsi di tubuh Pemerintah merupakan masalah besar, jauh di atas rerata Asia (74 persen),” demikian rilis TII yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (3/12).

Kinerja pemerintah Indonesia dalam pemberantasan korupsi menurut survei ini masih tertinggal dengan China (85 persen), Filipina (85 persen), Kamboja (79 persen), dan Malaysia (67 persen).

GCB di Indonesia ini berdasarkan wawancara melalui telepon dengan menggunakan metode Random Digital Dialing (RDD) dengan kontrol kuota dalam pemilihan sampel dengan margin of error +/- 3.1 persen.

Survei melibatkan 1.000 responden rumah tangga, usia di atas 18 tahun dengan latar belakang pendidikan, gender, dan lokasi yang beragam. Ada pun periode pengambilan data berlangsung pada 15 Juni hingga 24 Juli 2020.

Selain itu, pada awal November lalu, survei lain yang dilakukan LSI menyatakan sebagian besar responden menilai tingkat korupsi dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan. Kala itu, Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan mengatakan hasil survei ini tak jauh berbeda dengan survei yang dilakukan pihaknya pada Agustus 2020 dan September 2020 lalu.

Atas itu, KPK melalui Plt Juru Bicara Ali Fikri menyatakan survei LSI itu menjadi salah satu momentum untuk mengevaluasi komitmen dan keseriusan pemberantasan korupsi. Sementara itu, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan korupsi yang terjadi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh politik uang. Dalam hal ini, ia menyoroti biaya politik tinggi yang membuat kepala daerah cenderung melakukan korupsi.

Kemudian, pada survei lain yang dilakukan pada Juli 2020, dua lembaga yang berbeda menemukan bahwa saat itu publik lebih percaya Polri ketimbang KPK. Pertama, survei dari Charta Politika Indonesia menyebut tingkat kepercayaan publik terhadap Polri di bulan Juli mencapai 72,2 persen. Sementara kepercayaan terhadap KPK berada di angka 71,8 persen.

Data itu ‘sebelas-dua belas’ dengan temuan Indikator Politik. Dalam survei yang digelar pada 13-16 Juli, Indikator juga mencatat publik saat ini lebih percaya Polri ketimbang KPK.

Tingkat kepercayaan Polri tercatat 75,3 persen, sedangkan KPK 74,7 persen. Survei dilakukan terhadap 1.200 responden via telepon. Toleransi kesalahan kurang lebih 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Atas survei dua lembaga yang digelar terpisah pada Juli lalu tersebut, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyatakan pihaknya melakukan evaluasi, salah satunya dengan berdiskusi pada pembuat survei.

“Ada beberapa saran positif yang telah kami identifikasi, seperti agar KPK memperhatikan dan tetap menjaga komunikasi dengan critical mass atau masyarakat yang selama ini sangat concern dengan KPK,” kata Nawawi kala itu.

Editor : Aron
Sumber : cnnindonesia