Legalitas penggunaan ganja kembali ramai diperbincangkan setelah Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merestui rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghapus tanaman itu dari kategori obat paling berbahaya.

Sebanyak 27 dari 53 negara anggota Komisi Obat Narkotika (CND) menyatakan dukungan dengan mengizinkan penggunaan ganja untuk tujuan medis.

Para ahli mengatakan bahwa pemungutan suara tidak akan langsung berdampak pada pelonggaran kontrol internasional terhadap ganja. Sebab setiap negara memiliki yurisdiksi atau ketentuan hukum yang berlaku di wilayahnya masing-masing.

Namun tidak sedikit negara yang menganggap hal ini menuju konvensi global sebagai panduan, dan pengakuan PBB adalah kemenangan simbolis bagi para pendukung perubahan kebijakan narkoba.

Di Indonesia sendiri wacana pemanfaatan ganja sebagai alternatif medis sempat muncul setelah pada Agustus lalu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sempat menetapkannya sebagai salah satu tanaman obat komoditas binaan kementerian.

Ketetapan itu termaktub dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang ditandatangani Menteri Syahrul sejak 3 Februari lalu.

Dalam Kepmen tersebut ganja masuk dalam lampiran jenis tanaman obat yang dibina oleh Direktorat Jenderal Hortikultura. Setidaknya total ada 66 jenis tanaman obat yang dibina Ditjen Hortikultura.

Selain ganja, jenis tanaman obat lain yang dibina antara lain kecubung, mengkudu, kratom, brotowali, hingga purwoceng.

Namun, di hari yang sama, Syahrul mencabut aturan itu setelah menuai kontroversi.

Ia menyatakan akan mengkaji lagi kebijakan tersebut dengan Badan Narkotika Nasional RI (BNN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja sendiri tergolong narkotik golongan I bersama dengan sabu, kokain, opium, heroin.

Izin penggunaan terhadap narkotika golongan I hanya dibolehkan dalam hal-hal tertentu. Dan di luar itu, maka dianggap melanggar hukum alias ilegal.

Selain itu, UU Nomor 35/2009 juga melarang konsumsi, produksi, hingga distribusi narkotika golongan I.

Kemudian, setiap orang yang memproduksi atau mendistribusikan narkotika golongan I diancam hukuman pidana penjara hingga maksimal seumur hidup atau hukuman mati.

Sementara itu, bagi penyalahgunaan narkotika golongan I diancam pidana paling lama 4 tahun.

Regulasi tersebut juga menoreh beberapa kasus penggunaan ganja untuk medis di Indonesia. Belum lama ini, Reyndhart Rossy Siahaan dijatuhi vonis 10 bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) terkait penggunaan ganja pada 22 Juni lalu.

Dalam kasus ini, Rossy ditangkap pada 17 November 2019 oleh Polda NTT, setelah diduga menggunakan narkoba jenis ganja untuk mengobati penyakitnya. Ia meminum air rebusan ganja untuk mengobati penyakit gangguan saraf terjepit yang dideritanya sejak 2015.

Editor : Aron
Sumber : cnnindonesia