Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengungkap dugaan patgulipat alias kecurangan mekanisme ekspor benih lobster yang menyeret Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka dugaan korupsi.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kiara, Susan Herawati menjelaskan mekanisme ekspor benih lobster lewat KKP dinilai janggal dan banyak melalui kongkalikong dalam sejumlah proses. Dugaan kejanggalan itu ditemukan pihaknya mulai dari penentuan perusahaan pemegang izin ekspor, syarat eksportir, jumlah benih yang dieskpor, hingga pelibatan nelayan.

“Kita melihat bagaimana penerapan di dalam perusahaan-perusahaan yang mendapat izin ini kan ada pertanyaan besar,” ujar Susan dalam program Mata Najwa yang disiarkan langsung Trans7, Rabu (25/11) malam.

Susan lalu mencontohkan salah satunya yakni kejanggalan dalam penetapan perusahaan pemegang izin ekspor. Susan menyebut banyak perusahaan-perusahaan yang baru didirikan telah memegang izin untuk ekspor. Padahal mestinya, perusahaan ekspor benih lobster paling tidak telah memiliki riwayat budidaya lobster atau pembebasliaran benih lobster sebelum diberi izin menjadi eksportir.

“Misalnya ada ketentuan dalam Permen itu minimal kan perusahaan harus melakukan sebelumnya pernah melakukan budidaya, dan pernah melakukan budidaya secara berkelanjutan,” kata Susan.

“Tapi kenyatannya tidak ada seperti itu. Semua yang diambil keputusannya, kita melihat bahwa ini ruangnya tertutup,” imbuhnya.

Kemudian, soal batas jumlah benih lobster yang bisa diekspor dalam satu tahun, maksimal berjumlah 139.475.000 benih. Jumlah itu diatur dalam putusan Dirjen Perikanan Tangkap KKP Nomor 51 Tahun 2020.

Namun, Susan mendapati antara Mei dan Juni, setidaknya ada 26 perusahaan yang telah melakukan ekspor sekitar 20-25 juta. Jika dikalikan, jumlahnya mencapai sekitar 600 juta. Jumlah itu, menurut dia, jelas-jelas telah menyalahi batas ketentuan ekspor benur.

Padahal, ujar Susan, Komisi Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) telah menegaskan bahwa sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia telah mencapai batas eksploitasi.

Sebelumnya, dalam rilis KIARA, Susan juga menyebut izin ekspor yang dikeluarkan Edhy lewat Peraturan Menteri KP Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan tidak melalui kajian ilmiah. Bahkan, menurut pihaknya kala itu pembahasannya terkesan tertutup, dan tidak melibatkan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster.

“Penetapan kebijakan ekspor benih lobster tidak mempertimbangkan kondisi sumber daya ikan Indonesia yang existing. Pada statusnya pada tahun 2017 dinyatakan dalam kondisi fully expolited dan over exploited,” kata Susan.

Padahal, sejak awal, Susan mengaku telah mengingatkan KKP agar tidak sesumbar mengeluarkan izin benih lobster yang dinilai hanya akan merugikan nelayan dan eksploitasi sumber daya kelautan.

Sebagai informasi, KPK telah menetapkan Edhy Prabowo dan enam orang lain sebagai tersangka usai dicokok dalam rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu dini hari WIB. Edhy sendiri ditangkap KPK setibanya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta dari lawatan ke Amerika Serikat.

Edhy diduga telah menerima suap lebih dari Rp12 miliar dari sejumlah perusahaan eksportir lobster. Uang itu diterima PT. Aero Citra Kargo (ACK) selaku satu-satunya perusahaan cargo pengirim benih lobster dari total 30 perusahaan pemegang izin eksportir dari KKP.

Para tersangka yang ditetapkan KPK dalam kasus ini adalah enam orang sebagai penerima suap yakni Edhy Prabowo; stafsus Menteri KKP Safri dan Andreau Pribadi Misata; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; Ainul Faqih; dan Amiril Mukminin.

Edhy Prabowo dkk selaku penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT DPP, Suharjito. Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan dua dari tujuh tersangka yaitu Andreau Pribadi Misata dan Amiril Mukminin itu belum berhasil diamankan pihaknya. Oleh karena itu, Nawawi meminta dua tersangka tersebut menyerahkan diri.

“Sekali lagi kami mengimbau kepada kedua orang yang telah ditetapkan sebagai Tersangka ini untuk segera datang menyerahkan diri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,” ucap Nawawi.

Nawawi menuturkan Amiril diduga menjadi perantara suap uang sebesar US$100 ribu yang diterima oleh Edhy Prabowo. Uang tersebut berasal dari Direktur PT DPP Suharjito dan disinyalir berkaitan dengan penetapan kegiatan ekspor benih lobster atau benur.

Sedangkan Andreau diduga bersama-sama dengan staf khusus Edhy lainnya bernama Safri telah menerima uang sejumlah Rp436 juta dari Ainul Faqih selaku staf Iis Rosita Dewi, istri dari Edhy.

Istri dari Edhy, Iis Rosita Dewi, sendiri sebelumnya turut diamankan bersama suaminya di Bandara Soetta. Namun, KPK kemudian membebaskannya dengan alasan belum memiliki dua alat bukti yang cukup.

Meskipun begitu, Nawawi mengatakan dalam kasus korupsi izin ekspor benih lobster ini pihaknya tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkan perkara dan menetapkan tersangka lain.

Editor : Aron
Sumber : cnnindonesia