Koordinator Fungsi Penerangan, Sosial, dan Budaya Kedutaan Besar RI di Abu Dhabi, Nur Ibrahim, buka suara soal keputusan Uni Emirat Arab (UEA) yang mengizinkan kumpul kebo dan minuman keras.

Dia mengatakan baik warga setempat maupun ekspatriat menanggapi keputusan tersebut dengan biasa saja tanpa gejolak apa pun.

“Menurut hasil pengamatan kami di sini, perubahan dalam KUHP dan Hukum Acara Pidana di UEA tidak menimbulkan gejolak. Warga negara setempat (Emirati) maupun ekspatriat menanggapinya secara biasa saja. Tidak heboh seperti media di luar UEA seperti Indonesia,” kata Ibrahim melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Selasa (24/11).

Ibrahim menuturkan, pemerintah UEA sebenarnya tidak sepenuhnya membebaskan sembarang orang untuk mengonsumsi minuman keras.

“Perlu kami luruskan bahwa melalui KUHP yang baru, Pemerintah UEA tidak membebaskan miras sepenuhnya,” ucap dia.

“Kurang lebih teks dalam KUHP yang baru menyangkut hukuman terkait pelanggaran miras seperti ini: Mereka yang mengonsumsi atau bertransaksi minuman keras di tempat-tempat yang diberikan izin dan sesuai dengan persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku, tidak akan dihukum. Setiap Emirat (wilayah atau semacam provinsi kalau di Indonesia) diberikan kewenangan untuk menerbitkan peraturan yang mengatur hal ini,” ujarnya.

Kata dia, sanksi hukum akan diberikan bagi yang mengonsumsi minuman keras atau menyajikan, menjualnya kepada seseorang yang berusia di bawah 21 tahun. Juga kepada mereka yang membeli minuman keras atas nama seseorang yang berusia di bawah 21 tahun.

Mengenai aturan kohabitasi atau kumpul kebo, Ibrahim mengatakan hal tersebut hanya berlaku khusus bagi ekspatriat atau warga negara asing yang bermukim di UEA, dan tidak berlaku bagi warga setempat.

Namun, pihaknya mengaku belum mendapatkan informasi lengkap mengenai aturan baru tersebut.

“Untuk soal kumpul kebo, informasi yang kami peroleh adalah ini berlaku khusus bagi ekspatriat/WNA yang bermukim di UEA. Tidak untuk Emirati. Sayangnya, kami masih belum mendapatkan detail KUHP yang mengatur tentang hal ini. Seperti persyaratan (dan) kondisi mereka yang boleh tinggal serumah (bukan pasutri) seperti apa,” ujar Ibrahim.

UEA pada 7 November lalu memutuskan melonggarkan syariat Islam untuk memodernisasi negara sekaligus mempromosikan citra Islam yang progresif.

Selain melegalkan kohabitasi dan minuman beralkohol, UEA juga mendekriminalisasi bunuh diri dan akan menjatuhkan hukuman berat terhadap pelaku pembunuhan demi kehormatan (honor killing) yang mayoritas menimpa perempuan.

Hal ini dilakukan pemerintah UEA menjelang menjadi tuan rumah pameran bertajuk World Expo. Kegiatan itu bertujuan menarik pemodal dan mendatangkan sekitar 25 juta pengunjung ke negara itu, setelah diundur satu tahun akibat pandemi virus corona.

Proyek modernisasi UEA juga datang ketika pemerintahan baru presiden Amerika Serikat terpilih, Joe Biden, bersiap menggantikan Presiden Donald Trump yang telah menjalin hubungan dekat dengan pemerintah Teluk.

Segala upaya pelonggaran aturan tersebut juga muncul pasca momentum kesepakatan Abraham Accords yang disahkan pada 15 September yang ditengahi oleh Amerika Serikat.

UEA berpisah dengan Prakarsa Perdamaian Arab 2002 dengan menormalisasi hubungan dengan Israel.Dua bulan kemudian, UEA secara resmi mengumumkan bahwa mereka berencana menjadi negara mayoritas Muslim yang liberal secara sosial.
Editor : Aron
Sumber : cnnindonesia