Polda Riau mengungkap adanya perang bandar narkoba di Sumatera antara kelompok Bandar Medan dan bandar Dumai. Sebelumnya, Polda Riau berhasil menangkap kelompok bandar Dumai dengan barang bukti berupa uang tunai 210 juta rupiah sebagai hasil penjualan narkoba, narkoba jenis sabu sebanyak tiga kilogram, tujuh pucuk senjata api, dan dua buah kendaraan roda empat.
Penyitaan tujuh senjata api tersebut adalah signal buruk dalam perkembangan situasi kejahatan narkoba. Polda Riau juga menjelaskan bahwa kelompok Dumai tersebut mendapatkan narkoba dengan cara merebut dari kelompok bandar Medan.
Seperti diberitakan sebelumnya, kelompok bandar Medan berhasil menyelundupkan narkoba dari Malaysia. Sesampainya di Riau, narkoba tersebut diangkut oleh kurir S yang dikendalikan oleh bandar A yang notabene adalah narapidana LP Pekanbaru. Saat truk pengangkut sabu tersebut melewati Dumai, kelompok jaringan Dumai kemudian menggunakan senjata api untuk merebut narkoba tersebut.
Kedua kelompok kemudian saling tembak dan peperangan dimenangkan oleh kelompok Dumai dengan berhasil mendapatkan 20 kg sabu dan 10 ribu butir ekstasi.
Peredaran gelap senjata
Jika peredaran narkoba juga dibarengi dengan adanya peredaran gelap senjata, maka situasi peredaran narkoba akan berdampak buruk. Perang narkoba yang tiada berakhir di negara-negara latin adalah karena didukung adanya peredaran senjata. Ribuan nyawa berakhir percuma atas kebrutalan perang antar kartel di Meksiko, Kolombia, Venezuela, atau di Peru.
Senjata dan narkoba juga memperburuk situasi konflik antar etnik di Myanmar. Diketahui berton-ton narkoba jenis sabu dan heroin diproduksi di daerah perbatasan Myanmar – Tiongkok. Daerah tersebut adalah pusat konflik dalam sejarah Tiongkok, Taiwan, dan Myanmar.
Dari Myanmar, narkoba mengalir dari dan melalui negara-negara Delta Mekong seperti Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, dan Tiongkok. Respons atas persoalan tersebut, UNODC membuat perjanjian The Mekong Memorandum of Understanding on Drug Control sebagai penetrasi untuk mengatasi masalah narkoba di kawasan.
Tidak menutup kemungkinan jika peredaran gelap senjata juga terjadi di daerah tersebut mengingat Myanmar sampai saat ini adalah negara yang masih mengalami konflik berdarah.
Pengendalian senjata harus segara dilakukan. Karena senjata adalah pendukung sadisme kelompok-kelompok kejahatan. Sumber senjata umumnya terdiri dari senjata rakitan, senjata hasil penyelundupan dari luar negeri, dan senjata yang berasal dari oknum petugas. Baru-baru ini diketahui oknum petugas yang menjual senjata kepada kelompok pengacau keamanan di Papua.
Tegas menindak oknum
Potensi oknum-oknum petugas dalam rantai penyelundupan narkoba terdiri dari petugas perbatasan, penegak hukum, dan petugas lembaga pemasyarakatan. Dalam rangkaian proses penyidikan, penyidik, jaksa, hakim, dan pengacara adalah empat serangkai profesi yang perlu mendapat pengawasan khusus mengingat kewenangan besar yang dimiliki.
Pengawasan terhadap petugas dalam rantai peredaran narkoba diperlukan mengingat narkoba adalah sumber uang yang tidak berseri. Ceruk narkoba yang besar bagi Indonesia adalah potensi rupiah yang besar. Dengan kekuatan uang tersebut, maka integritas petugas adalah benteng utama atas upaya pengendalian peredaran narkoba.
Temuan Polda Riau dengan menyebutkan adanya keterlibatan narapidana dari dalam Lapas adalah keprihatinan tersendiri. Sebelumnya, pasa kasus yang lain, Polda Riau juga menangkap seorang oknum Polsuspas Pekanbaru yang berprofesi sebagai kurir.
Jika lembaga pemasyarakatan tidak berhasil menghentikan aktivitas jaringan peredaran narkoba, maka pengendalian peredaran narkoba akan semakin sulit. Apalagi, salah satu ceruk pasar narkoba adalah narapidana yang ada di dalam lapas. Maka, tidak heran jika narkoba masih beredar di dalam lapas.
Beberapa waktu yang lalu, Polda Riau juga menangkap oknum perwira polisi berpangkat kompol yang menjadi kurir atau pengawal kurir narkoba puluhan kilogram.
Sementara di Bone, Sulawesi Selatan, oknum polisi mengamuk di BNNK Bone karena permintaannya kepada BNNK Bone untuk melepaskan rekannya tidak dikabulkan. Belakangan diketahui, jika oknum polisi tersebut pengguna aktif narkoba dan diduga terlibat dalam peredaran narkoba.
Ketegasan menindak oknum petugas adalah satu-satunya upaya memperbaiki citra negatif masyarakat atas kinerja petugas. Selain sanksi pidana terhadap oknum petugas, pemecatan adalah langkah maju untuk membersihkan institusi penegak hukum dari oknum. Tidak mungkin membersihkan lantai yang kotor, sementara sapunya juga kotor.
Meredam signal kekerasan bandar
Selain kelompok bandar Medan dan Dumai yang menggunakan senjata dalam perang antara bandar, kita juga perlu menengok kelompok Aceh. Salah satu kelompok besar peredaran narkoba ganja dan sabu adalah kelompok Aceh.
Sebagian dari kelompok Aceh adalah mantan aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). GAM adalah kelompok bersenjata yang telah berdamai dengan pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan SBY melalui MoU Helsinki tahun 2005.
Pada tahun 2017, Polri menembak mati bandar narkoba di Binjai, Sumatera Utara yang berasal dari kelompok Aceh. Bandar tersebut memiliki senjata AK-47. Dugaan Polri, mereka berasal dari mantan pegiat GAM. Sementara tahun lalu, seorang bandar narkoba yang memiliki 10 hektar ladang ganja di Aceh adalah mantan tentara GAM.
Signal negatif meningginya tensi perang melawan kelompok pengedar narkoba bersenjata harus diredam dan diantisipasi dari sekarang sebelum kerumitan bertambah. Kita perlu menengok kerumitan negara-negara lain dalam perang melawan narkoba yang penuh derita.
Editor : Parna
Sumber : kumparan