DPR  saat ini tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol. RUU tersebut menuai pro dan kontra di masyarakat.

Apalagi, dalam rancangan aturan tersebut, sanksi yang ditetapkan berupa pidana bagi mereka yang hanya mengkonsumsi alkohol. Berikut selengkapnya mengenai wacana pelarangan minuman alkohol:

Minuman Alkohol Bakal Dilarang dan Dampaknya Bagi Penerimaan Negara

RUU Larangan Minuman Beralkohol merupakan inisiatif DPR yang diusulkan oleh sejumlah anggota yaitu dari Fraksi PPP, PKS, dan Gerindra. Total ada 21 orang pengusul.

Jika RUU tersebut disahkan menjadi Undang-Undang, maka setiap orang yang memproduksi, menjual, menyimpan, maupun mengkonsumsi minuman alkohol bisa terancam pidana.

Ancaman pidana dan denda pedagang miras tersebut diatur dalam Pasal 19. Hukumannya adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Pelarangan minuman beralkohol juga akan berdampak pada penerimaan negara. Sebab minuman mengandung etil alkohol (MMEA) juga dikenakan cukai.

Penerimaan negara dari peredaran MMEA yakni pada tahun 2014 sebesar 5,29 triliun, tahun 2015 sebesar Rp 4,55 triliun, dan tahun 2016 sebesar Rp 5,30 triliun.

Adapun penerimaan cukai dari MMEA hingga akhir September 2020 sebesar Rp 3,61 triliun, turun 23,02 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pemerintah sendiri menargetkan penerimaan dari MMEA ini mencapai Rp 7,1 triliun sepanjang 2020.

Meski begitu, Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Syarif Hidayat, mengatakan cukai minuman beralkohol tidak terlalu signifikan ke penerimaan secara keseluruhan. Menurutnya selama ini yang berdampak besar adalah dari cukai hasil tembakau.

Pihak Ditjen Bea dan Cukai juga akan mempelajari lebih dalam lagi dampak yang terjadi pada RUU Pelarangan Minuman Beralkohol ini jika benar-benar disahkan menjadi UU.

Pemusnahan Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) di halaman Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Bekasi, Jawa Barat. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Syarif menuturkan, Ditjen Bea dan Cukai dalam melakukan penarikan cukai dan pengawasan terhadap minuman beralkohol mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 1995 jo UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Syarif memastikan siap menjalankan keputusan apa pun yang diambil.

Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Golkar AA Bagus Adhi Mahendra Putra menekankan, RUU Larangan Minuman Beralkohol tidak boleh mengesampingkan kearifan lokal tiap daerah, seperti Bali.

Menurutnya, Bali merupakan daerah destinasi pariwisata yang digemari wisatawan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara yang mengkonsumsi alkohol. Belum lagi, kegiatan adat masyarakat Bali salah satu sarananya adalah arak dan brem.

Nasib Industri Jika Minuman Alkohol Dilarang, Miras Ilegal Bisa Merajalela

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, mengatakan sebenarnya konsumsi alkohol di Indonesia tidak setinggi negara lain khususnya di Asia. Selain itu, pengawasan di Indonesia juga sudah cukup ketat.

Yusuf mencontohkan pengawasan tersebut seperti tidak diperbolehkannya minuman beralkohol dijual di minimarket atau toko kelontong. Selain itu, ia merasa dampak pelarangan tersebut ke industri juga tidak akan signifikan.

Ia tidak mempermasalahkan kalau memang harus tetap dilarang adanya minuman beralkohol. Hanya saja, harus dipikirkan dampaknya lagi terkait potensi minuman keras atau miras ilegal.

“Namun jika klaim pengaju RUU ini bahwa konsumsi alkohol sudah mengkhawatirkan maka perlu diwaspadai juga efek samping yang tidak diinginkan dari RUU ini. Salah satunya misalnya, makin maraknya miras ilegal yang justru tidak terdaftar. Jika di konsumsi secara sembarangan justru efeknya malah lebih berbahaya. Bahkan sampai ke kematian,” tutur Yusuf.

Editor : Aron

Sumber : kumparan