Mabes Polri menyebutkan bahwa kesimpulan yang menyatakan bahwa Pendeta Yeremia Zanambani  sempat dianiaya sebelum ditemukan meninggal dunia merupakan hal yang terlalu dini alias prematur.

Dalam hal ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono mengungkapkan bahwa penyidik kepolisian masih belum pada kesimpulan tersebut, lantaran banyak hal yang perlu ditelusuri.

Meski tak merujuk pada kesimpulan suatu instansi, namun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam investigasinya menemukan bahwa Pendeta Yeremia sempat mendapat tindakan penganiayaan sebelum meninggal.

Menurut dia, sejauh ini kesimpulan tersebut masih sulit untuk dibuktikan lantaran jenazah dari korban belum dilakukan upaya autopsi. Sehingga, kata dia, akibat kematian dari korban belum dapat dipastikan secara pasti.

Namun demikian, Awi menerangkan bahwa pihak kepolisian tak akan mengomentari lebih lanjut terkait dengan investigasi yang telah dilakukan oleh Komnas HAM. Termasuk, terkait dengan terduga pelaku yang telah diumumkan oleh pihak Komisi, yakni merupakan oknum TNI.

“Kami masih terlalu dini untuk menyimpulkan itu. Kenapa, untuk autopsi saja belum, jadi nanti pasti kami selidiki,” kata Awi.

“Apalagi kalau sudah menjurus, men-justice pelakunya ini. Di sana jauh sekali, kami belum sampai kesana,” lanjutnya.

Mabes Polri sebelumnya telah menyiapkan Rumah Sakit Bhayangkara di Makassar, Sulawesi Selatan untuk melakukan otopsi terhadap jenazah Pendeta Yeremia Zanambani.

“Dari RS sendiri sudah menyanggupi sewaktu-waktu dibutuhkan untuk melaksanakan visum maupun autopsi,” kata Awi.

Hanya saja, kata dia, proses untuk melakukan evakuasi terhadap jenazah korban hingga saat ini masih menjadi persoalan. Pasalnya, kata dia, jarak lokasi pemakaman jenazah di Hitadipta berjarak hingga sekitar 12 km dari ibu kota Sugapa.

Selain itu juga, medan yang harus ditempuh untuk melakukan hal tersebut juga tidak mudah lantaran berada di sekitar pegunungan.

“Rekan-rekan tahu sendiri, naik turun seperti kemarin terkait TGPF yang ditembaki, ya sampai sekarang situasinya masih seperti demikian,” ucap dia.

Saat ini, Awi menjelaskan bahwa pihak kepolisian sedang mengusahakan untuk mengangkut jenazah menggunakan helikopter. Sehingga, dalam prosesnya pihak penyidik tak perlu melewati wilayah daratan yang rawan kontak tembak dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

“Untuk meminimalisir ancaman KKB, sekarang kami upayakan untuk menggunakan heli,” kata dia.

Sementara itu, Komnas HAM sebelumnya telah merilis hasil investigasi yang dilakukannya di wilayah Hitadipa, Intan Jaya, Papua.

Dalam temuannya, tim menyebut pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia berkaitan dengan pencarian senjata api personel TNI yang disebut dicuri oleh pasukan Organisasi Papua Merdeka (OPM), pada 17 September 2020.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengungkapkan berdasarkan keterangan ahli, korban meninggal bukan murni karena tertembak melainkan lantaran kehabisan darah.

Dugaan penyiksaan menurut temuan Komnas HAM, dilakukan oleh pelaku yang diindikasikan dari unsur TNI.

“Komnas HAM juga meyakini, disamping ada luka tembak. Ada potensi sayatan benda tajam lainnya pada lengan kiri korban, diduga kuat adanya penyiksaan atau tindakan kekerasan lainnya dilakukan terduga pelaku,” terang Anam yang Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM terkait peristiwa penembakan Pendeta Yeremia dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (2/11).

 

 

Editor : Aron

Sumber : cnnindonesia