Penggunaan Kuitansi  sangat lazim dalam keseharian kita, sebagai bukti transaksi atau pembayaran. Meski hanya secarik kertas, namun kuitansi memiliki kekuatan sebagai bukti berpindahnya sejumlah uang dari pembayar ke penerima.
Tapi yang perlu diperhatikan, kuitansi masuk ke dalam kategori akta di bawah tangan, karena dibuat tidak di depan pejabat publik semisal notaris. Kuitansi hanya ditandatangani oleh para pihak dan saksi, berbeda dengan akta otentik yang disaksikan dan disahkan oleh pejabat publik yang berwenang.
Dalam Pasal 162 HIR dinyatakan, alat bukti tertulis dalam perkara perdata dapat dibedakan menjadi:
  • Akta Otentik, yakni akta yang dibuat dan disahkan pejabat publik.
  • Akta di Bawah Tangan, yakni akta yang hanya dibuat dan ditandatangani oleh para pihak dan saksi.
  • Bukti Tertulis Lainnya, yakni dokumen tertulis dibuat tidak dalam rangka pembuktian di depan persidangan.
Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Sementara akta di bawah tangan, seperti kuitansi, baru punya kekuatan pembuktian yang sempurna jika diakui oleh pihak lawan.
Kenapa di Kuitansi Nilai Uang Harus Ditulis dengan Huruf dan Angka? Ini Sebabnya (1)
Seorang Warga menunjukkan kuitansi untuk pemindahbukuan rekening ke rekening aplikator dana bantuan gempa untuk tahap pertama bagi tiga belas kepala keluarga anggotanya di Dusun Pedamekan, Desa Sambelia, Lombok Timur, NTB, Kamis (18/10/2018). Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
HIR sendiri merupakan singkatan dari Herzien Inlandsch Reglement atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui, yaitu hukum acara dalam persidangan perkara perdata maupun pidana yang berlaku di pulau Jawa dan Madura. Reglemen ini berlaku di zaman Hindia Belanda, tercantum di Berita Negara (staatblad) No. 16 tahun 1848.
Kembali ke soal kuitansi, karena berkekuatan pembuktian hanya jika diakui pihak lawan, maka kedua belah pihak yang bertransaksi harus membubuhkan tanda saha transaksi. Seperti tanda tangan atau stempel/ cap perusahaan.
Sebagai bukti serah-terima uang atau pembayaran, tentu ada nominal dana yang berpindah tangan dari pembayar ke penerima. Dalam kuitansi, nilai nominal uang itu diterakan dalam bentuk huruf atau kata-kata dan juga angka.
Penulisan jumlah uang seperti itu dimaksudkan untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan membaca angka atau kecurangan tertentu. Jika hanya diterakan angka misalnya, dengan mudah bisa ditambahkan satu atau dua digit angka baru di depan atau di belakang angka yang sebenarnya, maka akan mengubah besaran nominal uang.
Hal ini bisa dihindarkan dengan penulisan nominal uang dalam bentuk uraian kata-kata.
Untuk memperkuat transaksi, juga dibubuhkan meterai pada kwitansi tersebut. Berdasarkan UU Nomor 13 tahun 1985 tentang bea meterai, jika transaksinya mulai Rp 1 juta maka harus dibubuhi meterai. Sementara berdasarkan UU baru yang mengatur bea meterai, transaksi mulai dari Rp 5 juta yang harus dibubuhi meterai senilai Rp 10.000.
Editor : Aron
Sumber : kumparan