Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menilai Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum perlu direvisi kembali saat ini. Pasalnya, menurutnya, regulasi tersebut baru direvisi beberapa tahun yang lalu.

Sebelumnya, dorongan agar UU ITE direvisi untuk kedua kalinya muncul setelah sejumlah aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditangkap aparat kepolisian lantaran diduga melanggar UU ITE.

“Kita sudah pernah melakukan revisi dan belum lama, baru dua tahun lalu kurang lebih. Jadi saya rasa bukan UU ITE yang direvisi begitu,” kata Meutya kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (15/10).

Menurutnya, merevisi Pasal 28 UU ITE apalagi sampai menghapus kata kebencian dan SARA yang terkandung di dalamnya akan membuat kondisi menjadi tidak teratur.

Meutya pun menyarankan, agar penjelasan lebih terkait poin yang dianggap kurang jelas dalam UU ITE dilakukan lewat penerbitan peraturan pemerintah (PP).

“UU itu kebijakan besar, kalau mau ada PP ya dibuat PP. Tapi, misalnya kalau ada yang mau merevisi UU ITE untuk mencabut kata kebencian dan SARA, saya rasa bablas itu nantinya ya,” ungkapnya.

“Justru, kita harus tidak boleh ada orang yang membawa isu SARA di negeri ini untuk mengadu domba, untuk melakukan hoaks,” tutur Meutya.

Sebelumnya, Habiburokhman menyatakan akan mendorong akan revisi UU ITE masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

Menurutnya, revisi UU ITE perlu dilakukan terhadap Pasal 28 ayat (2) dan pasal 45 A ayat (2).

“Saya akan mendorong dengan beberapa teman seperti dengan Taufik Basari dari NasDem, kami akan usulkan dalam Prolegnas ke depan revisi Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 A ayat (2),” kata sosok yang akrab disapa Habib itu kepada CNNIndonesia.com, Rabu (14/10).

Pasal 28 ayat (2) UU ITE berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 45 A ayat (2) UU yang sama berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Senada, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mendesak UU ITE segera direvisi. Pasal-pasal dalam UU tersebut dinilai sudah tidak relevan lagi.

Executive Director SAFEnet Damar Juniarto mengatakan, saat ini terdapat banyak pasal karet dalam UU ITE. Pasal-pasal itu dianggap sudah melenceng jauh dan mengebiri hak-hak digital warga.

“Serta memunculkan konsekuensi yang tidak diinginkan dengan merusak tatanan yang melindungi kebebasan akademik, kebebasan pers, dan kebebasan beragama, maka revisi UU ITE itu tak bisa ditawar-tawar,” kata Damar saat dihubungi CNNIndonesia.com belum lama ini.

 

Editor : Aron

Sumber : cnnindonesia