Indonesia disebut menempati posisi pertama sebagai negara paling kompleks untuk ber-bisnis berdasarkan Indeks Kompleksitas Bisnis Global (GBCI) periode Juni. Indeks itu dirilis oleh lembaga konsultan dan riset, TMF Group.

Laporan TMF Group mengungkapkan lanskap bisnis internasional lebih kompleks dari sebelumnya.

“Covid-19 telah menambahkan permasalahan ekonomi dan sosial yang signifikan,” tulis TMF Group dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (16/10).

Lembaga konsultan dan riset yang berbasis di Belanda itu menganalisis 250 kriteria dari 77 negara untuk menentukan GBCI tahun ini.

Meliputi administrasi bisnis, waktu yang diperlukan untuk memulai bisnis, perubahan dalam undang-undang perpajakan, kebijakan seputar upah dan manfaat, hingga tantangan membuka rekening bank.

“Indonesia meraih peringkat sebagai tempat paling kompleks untuk berbisnis dalam laporan tahun ini,” tulis TMF Group.

Selain Indonesia, negara yang masuk dalam peringkat 5 besar tempat paling kompleks untuk berbisnis, yakni Brasil, Argentina, Bolivia, dan Yunani.

Tahun lalu, Yunani menempati posisi pertama, tetapi negara itu telah melakukan beberapa perbaikan, sehingga peringkatnya turun tahun ini.

Sebaliknya, TMF Group juga membuat ranking negara dengan kompleksitas berbisnis paling rendah. Posisi pertama ditempati oleh Curacao, sebuah negara otonom di Belanda. Disusul oleh Amerika Serikat, Jamaika, Denmark, dan Kepulauan Virgin Britania Raya.

TMF Group mengatakan salah satu faktor kompleksitas bisnis berkelanjutan yang dihadapi perusahaan multinasional adalah memenuhi peraturan internasional dan lokal.

Tren internasional mendorong standardisasi global, tetapi pada praktiknya sejumlah aturan lokal tetap ditemui oleh perusahaan. Bahkan jauh lebih kompleks di beberapa negara.

Kemudian, banyak negara, terutama di Asia Pasifik dan AS, mengharuskan setidaknya satu direktur perusahaan menjadi penduduk lokal. Selain itu, 68 persen memiliki aturan yang membatasi perekrutan pekerja asing.

Permasalahan aturan domestik juga menjadi kendala perusahaan multinasional membuka bisnis mereka, termasuk perubahan legislatif yang harus dipatuhi oleh perusahaan multinasional.

Yunani, misalnya, ada sekitar 70 undang-undang perpajakan baru yang diberlakukan setiap tahun. Perusahaan yang ingin beroperasi di Yunani dipaksa untuk mematuhi perubahan aturan tersebut.

“Selain itu, banyak pemerintah mengambil tindakan reaktif untuk melindungi ekonomi mereka akibat dari pandemi covid-19 dan membentuk peraturan baru untuk mendukung bisnis lokal,” tulis TMF Group.

Sejumlah negara juga masih berpegang pada adat istiadat dan praktik yang berakar pada tradisi, sehingga menambah lapisan kompleksitas. Misalnya, 43 persen masih mengharuskan dokumen ditandai dengan stempel, potongan, atau segel agar mengikat secara hukum.

Tetapi, pemberlakuan aturan ini sudah turun dibandingkan tahun lalu sebanyak 49 persen negara. Argentina, Malaysia, dan Hong Kong telah menghapus persyaratan itu.

Namun, sejumlah negara mulai mengurangi kompleksitas bisnis. Misalnya, China dapat mengenakan pajak perusahaan yang lebih rendah daripada ketentuan nasional untuk menarik investasi. Sebanyak 6 provinsi di China mengenakan pajak perusahaan sebesar 15 persen daripada tarif nasional tetap sebesar 25 persen.

TMF Group mengatakan faktor yang meningkatkan kemudahan berbisnis adalah tingkat adopsi teknologi. Hasil riset menunjukkan jumlah negara yang memungkinkan proses bisnis menjadi digital dan dilakukan secara online bertambah.

Digitalisasi ini berhasil mengurangi birokrasi dan beban bisnis. Salah satu perwujudan efisiensi melalui digitalisasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk memulai bisni.

Di beberapa negara, seperti Argentina dan Venezuela, dibutuhkan waktu rata-rata lebih dari tiga bulan. Sedangkan di Curacao hanya butuh waktu sehari memulai bisnis.

“Memahami kompleksitas bisnis internasional sangat penting, terlebih lagi selama masa-masa sulit ini. Negara yang kompleks dapat membatasi kesuksesan bisnis atau dapat menghambat investasi. Di sisi lain, kesederhanaan operasi dapat mendorong investasi di negara yang tadinya tidak kompetitif,” kata CEO TMF Group Mark Weil.

 

Editor : Aron

Sumber : cnnindonesia