Polisi menangkap tiga pimpinan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di tengah riuh gelombang aksi penolakan Undang-udang  Omnibus Law Cipta Kerja. Polisi menyebut penangkapan ini terkait dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menilai penangkapan seseorang dengan menerapkan pasal ITE bukan hal baru.

“Ini kerap kali jadi satu pola baru dalam isu besar, contohnya di awal pandemi Kapolri Idham Azis sudah mengeluarkan TR (telegram) pasal penghinaan presiden kemudian isu besar lainnya adalah omnibus law,” kata Rivan kepada CNNIndonesia.com, Rabu (14/10).

Rivan menjelaskan kondisi ini bermula dari Surat Telegram yang dikeluarkan oleh Kapolri Idham Azis beberapa waktu sebelum demo Omnibus Law. Di dalamnya, kata Rivan, diamanatkan mengenai orang-orang yang menolak Omnibus Law.

“Disebutkan bahwa kontra narasi dan pendeskriditan terhadap orang-orang yang mengkritik tentang UU Ciptaker. Salah satu upayanya adalah menggunakan UU ITE. Narasi besarnya pembungkaman terhadap sipil,” terang Rivan.

Adapun pola yang dibentuk aparat menggunakan peraturan ini, kata Rivan, ditujukan kepada oposisi. Peraturan ini juga ditujukan bagi mereka yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.

“Selalu ditujukkan kepada pihak oposisi. Arahnya selalu jelas kepada yang berbeda pandangan dan narasinya selalu dibawa kamu sudah baca atau belum bukan secara umum. Sejak awal proses ini sudah bermasalah,” ujar dia.

Polisi mengamankan pelajar yang  akan mengikuti aksi menolak Undang-Undang Cipta Kerja di depan Kantor DPRD Provinsi Sumatera Selatan, Palembang, Kamis (8/10/2020). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww.Polisi juga menangkap para pelajar yang akan mengikuti aksi menolak Undang-Undang Cipta Kerja di depan Kantor DPRD Provinsi Sumatera Selatan, Palembang, Kamis (8/10/2020). (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)

Lebih lanjut Rivan menjelaskan penangkapan dengan menggunakan pasal ITE memiliki indikator bias sehingga tidak bisa diukur. Dengan demikian aparat bisa saja menangkap mereka yang memang mengkritik kebijakan pemerintah.

“Ini sebenarnya tidak terukur dan tidak memiliki indikator yang jelas. Enggak ada kriterianya. Ini hanya jadi satu basis pertimbangan bagi Polri untuk membungkam narasi Omnibus Law,” katanya.

Rivanlee menilai UU ITE tidak relevan dengan kondisi sekarang. Atau setidak-tidaknya ia meminta aparat tak menggunakan pasal tersebut dalam menjerat mereka yang berbeda pandangan dengan pemerintah.

“Apakah pasal ini urgen? Ya, sangat urgen sebenarnya untuk diubah tapi seminimalnya kita minta jangan selalu gunakan undang-undang pidana untuk ‘menghukum’ seseorang yang mengkritik tersebut. Mungkin polisi bisa pakai perdata,” ujar dia.

Aktivis KAMI yang ditangkap polisi di antaranya Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana. Selain itu polisi juga menangkap lima aktivis KAMI lainnya, sehingga total delapan orang ditangkap dari kelompok tersebut.

Syahganda ditangkap oleh penyidik di rumahnya di Depok, Jawa Barat pada Selasa (13/10) dini hari sekitar pukul 04.00 WIB.

Berdasarkan surat penangkapan yang didapat CNNIndonesia.com, Syahganda diduga melakukan tindak pidana penyebaran berita bohong atau hoaks yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA melalui media sosial.

Usul Revisi UU ITE

Sementara itu anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyatakan bahwa fraksinya telah menggagas revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pernyataan ini disampaikan Mardani menyikapi dugaan penggunaan UU ITE dalam penangkapan sebanyak delapan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Jakarta dan Medan.

“Kami, PKS sudah menggagas agar ada revisi dalam pasal UU ITE, khususnya yang sering dijadikan dasar penangkapan atau proses hukum berbasis postingan di sosial media,” kata Mardani kepada CNNIndonesia.com, Rabu (14/10).

Dia menyatakan bahwa penggunaan UU ITE semestinya didudukkan proporsinya sesuai dengan hak dasar kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan hak berserikat.

Ia pub menilai penangkapan delapan aktivis KAMI yang dilakukan okeh pihak kepolisian ini merupakan ujian bagi demokrasi di Indonesia.

“Ini ujian bagi demokrasi. Semua penangkapan mesti didasari norma hukum yang tegas,” ucap Mardani.

Mardani menambahkan kekuatan pendukung demokrasi harus bersatu saat ini demi menjaga iklim kebebasan berpendapat yang baik di Indonesia.

Sebelumnya Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigjen Awi Setiono mengatakan Awi baru penangkapan beberapa orang di Medan dan Jakarta itu diduga berkaitan dengan penyebaran hasutan melalui grup Whatsapp sehingga menyulut kericuhan selama aksi unjuk rasa.

Dari 8 orang yang ditangkap lima ditetapkan jadi tersangka.

Editor : Aron
Sumber : cnnindonesia