Hukuman mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum disunat oleh Mahkamah Agung (MA) di tingkat Peninjauan Kembali (PK). Hukuman Anas yang semula 14 tahun, dipotong jadi hanya 8 tahun saja.
Dalam vonis PK Anas, alasan hakim mengambulkannya adalah karena adanya kekhilafan dalam putusan sebelumnya di tahap kasasi.
Kekhilafan hakim yang dimaksud ialah keterangan saksi terkait penerimaan uang Anas Urbaningrum yang bersumber dari fee proyek. Majelis Hakim PK menilai hanya satu saksi yang menerangkan Anas Urbaningrum melakukan lobi agar perusahaan tertentu mendapat proyek pemerintah sehingga ia kemudian mendapat fee.
Saksi itu ialah Muhammad Nazaruddin. Hakim menilai keterangan itu tidak didukung alat bukti lain.
Hakim pun menilai penerapan pasal terhadap Anas tidak tepat. Menurut hakim, yang paling tepat untuk diterapkan ialah Pasal 11, bukan Pasal 12 a UU Tipikor.
Guru Besar Universitas Jenderal Soedirman Prof Hibnu Nugroho mengakui pemotongan hukuman tersebut merupakan kewenangan hakim. Sebab, upaya PK memang bisa memutus soal adanya kesalahan penerapan hukum (penafsiran); putusan saling bertentangan; dan adanya kekhilafan.
Namun, menurut dia, perbedaan putusan PK dan kasasi itu kemudian menimbulkan tanya.
“Di tingkat PK itu harusnya ada di tingkat putusan saling bertentangan, ada kekeliruan, sekarang apakah pertanyaannya hakim kasasi keliru? pertanyaannya seperti itu kan? ini kan jadi perdebatan kita,” kata Hibnu saat dihubungi, Kamis (1/10).
Meski jadi kewenangan hakim, Hibnu menyoroti putusan tersebut dari sisi pemberantasan korupsi. Menurutnya, vonis pemotongan hukuman koruptor macam ini tak memberikan efek jera.
PK Jangan Sampai Jadi Ajang Koruptor Cari Diskon Hukuman (1)
Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Prof Hibnu Nugroho. Foto: Dok. Pribadi
“Iya harus disorot, tidak menunjukkan suatu optimalisasi efek jera yang sudah diputuskan di pengadilan sebelumnya. Saya kira ini cerminkan spirit pemberantasan korupsi kurang mendukung,” kata Hibnu.
Hibnu menilai, saat ini terdapat suatu masalah yang harus segera diselesaikan dalam kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Ada fenomena pengurangan hukuman yang terjadi di tingkat MA terhadap koruptor.
KPK saja mencatat ada 21 koruptor yang hukumannya dikurangi baik di tingkat kasasi maupun PK. Hal ini, kata Hibnu, harus dicari jalan keluarnya agar tak jadi preseden buruk pemberantasan korupsi.
“Ini saya kira suatu problem yang harus segera diantisipasi dalam kebijakan penegakan hukum. Sebab, kalau ini terus dijadikan suatu preseden, tentu saja perkara akan berselesai pada tingkat PK. Semua pidana akan berhenti pada tingkat PK,” kata Hibnu.
“Jadi jangan sampai upaya PK itu dalam rangka mencari diskon putusan, yang berdampak pada peradilan pidana,” pungkasnya.
Dengan dikabulkannya PK, hukuman Anas Urbaningrum kini hanya 8 tahun penjara. Sebelumnya di tahap kasasi, ia dihukum 14 tahun penjara oleh Artidjo Alkostar dkk.
Meski hukuman penjara dipotong, Anas tetap dihukum denda sebesar Rp 3 miliar subsider 3 bulan. Selain itu, hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti tidak berubah, yakni Rp 57.592.330.580 dan USD 5.261.070 subsider 2 tahun penjara.
Hak politik Anas Urbaningrum pun tetap dicabut selama 5 tahun. Terhitung setelah menjalani pidana pokok.
Editor : Parna
Sumber : kumparan