Komitmen Mahkamah Agung (MA) dalam pemberantasan korupsi kini disorot. Hal itu tak lepas dari sikap MA yang kerap memotong hukuman penjara koruptor dalam beberapa waktu terakhir.
Terbaru, MA memotong hukuman mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dari 14 tahun menjadi 8 tahun penjara di tingkat Peninjauan Kembali (PK).
Anas merupakan terpidana kasus korupsi pembangunan Pusat Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang dan pencucian uang.
Vonis majelis hakim PK MA itu diketok Sunarto sebagai ketua majelis yang didampingi Andi Samsan Nganro dan Mohammad Askin (hakim ad hoc tipikor) pada Rabu (30/9).
Dalam salah satu pertimbangannya, majelis hakim PK MA menilai terdapat kekhilafan majelis hakim tingkat kasasi saat menjatuhkan vonis 14 tahun penjara terhadap Anas.
Melihat Lagi Pertimbangan Artidjo Alkostar yang Sempat Hukum Anas 14 Tahun Bui (1)
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Diketahui vonis 14 tahun penjara tersebut dijatuhkan Artidjo Alkostar (kini anggota Dewas KPK), MS Lumme, dan Krisna Harahap pada 2015 lalu.
“Bahwa alasan-alasan permohonan peninjauan kembali Pemohon PK (Anas Urbaningrum) atas dasar kekhilafan hakim dapat dibenarkan, oleh karena Judex Juris telah salah dalam menyimpulkan alat-alat bukti yang kemudian dijadikan sebagai fakta hukum tentang pidana yang terjadi telah dilakukan oleh Pemohon PK,” bunyi pertimbangan vonis majelis hakim PK.
Lalu bagaimana pertimbangan Artidjo Alkostar dkk saat menghukum Anas selama 14 tahun penjara yang dianggap sebagai kekhilafan?
Melihat Lagi Pertimbangan Artidjo Alkostar yang Sempat Hukum Anas 14 Tahun Bui (2)
Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Artidjo Alkostar. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dalam pertimbangan putusan kasasi, Artidjo dkk menyatakan majelis hakim Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah salah menerapkan hukuman terhadap Anas.
“Judex Facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu kedudukan Terdakwa dalam hal ini selaku anggota DPR-RI pada Komisi X dan selaku Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR-RI, sehingga Terdakwa merupakan penyelenggara negara,” bunyi pertimbangan putusan kasasi nomor 1261 K/PID.SUS/2015.
Selain itu, Artidjo dkk menganggap putusan tingkat pertama dan banding bersifat kontradiktif. Sebab menyatakan Anas terbukti melakukan lobi-lobi untuk mendapatkan proyek pemerintah sebagaimana dakwaan suap. Namun hanya menerapkan Pasal 11 UU Tipikor yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Melihat Lagi Pertimbangan Artidjo Alkostar yang Sempat Hukum Anas 14 Tahun Bui (3)
Anas Urbaningrum diperiksa KPK terkait e-KTP Foto: M Agung Rajasa/Antara Foto
Padahal dengan fakta tersebut, Artidjo menilai Anas terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor yang ancaman hukumannya lebih tinggi:
“Putusan Judex Facti bersifat kontradiktif, karena dalam pertimbangannya telah menyebutkan bahwa Terdakwa melakukan lobi-lobi proyek pemerintah yang dibiayai dengan APBN adalah untuk kepentingan dirinya mencapai cita-citanya menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dan calon Presiden,” tulis pertimbangan vonis kasasi.
“Hal tersebut secara yuridis memenuhi kualifikasi unsur hadiah dan janji yang patut diketahui dan patut diduga diberikan untuk menggerakkan agar melakukan dan tidak melakukan semata dalam jabatannya, seperti tertuang dalam unsur-unsur Pasal 12a Undang Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2001,” lanjut isi pertimbangan putusan kasasi.

Sementara mengenai dakwaan pencucian uang, majelis hakim kasasi menyatakan Anas tidak bisa membuktikan kekayaannya. Sehingga majelis menganggap kekayaan Anas bersumber dari pencucian uang hasil korupsi.
“Terdakwa tidak dapat membuktikan sebaliknya kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya sebagaimana keterangan saksi Winantuningtyastiti Sekjen DPR RI bahwa take home pay Terdakwa sebesar Rp 47.400.000,00 atau sumber penambahan kekayaannya,” lanjut isi pertimbangan.
Melihat Lagi Pertimbangan Artidjo Alkostar yang Sempat Hukum Anas 14 Tahun Bui (4)
Anas Urbaningrum di Pengadilan Tipikor Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Artidjo dkk juga menolak keberataan Anas yang menyatakan tindak pidana asal atau predicate crime dalam pencucian uang harus dibuktikan terlebih dahulu.
“Bahwa sesuai ketentuan Pasal 69 Undang Undang No. 8 Tahun 2010 dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/AUU-XIII/2014 tanggal 12 Februari 2015 untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya,” bunyi pertimbangan.
Atas dasar tersebut, majelis kasasi menganggap apa yang dilakukan Anas merupakan korupsi politik. Sehingga hak politik Anas harus dicabut.
Saat itu, majelis kasasi tidak menerapkan berapa lama hak politik Anas dicabut. Namun putusan itu dikoreksi MA di tingkat PK bahwa hak politik Anas dicabut selama 5 tahun setelah menjalani pidana penjara.
“Bahwa perbuatan Terdakwa merupakan korupsi politik,” tulis Artidjo dkk dalam pertimbangan putusan.

 

Editor : Aron

Sumber : Kumparan