Jakarta – Megaskandal PT Asuransi Jiwasraya (Persero) masih memunculkan berbagai reaksi berkaitan dengan rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyiapkan anggaran sebesar Rp 20 triliun untuk membantu penyelesaian klaim Jiwasraya pada 2021 lewat Penyertaan Modal Negara (PMN).

Kewajiban Jiwasraya memang masih besar sejauh ini. Laporan keuangan Jiwasraya di 2019 menunjukkan, kewajiban asuransi warisan Belanda bernama Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatschappij van 1859 ini mencapai Rp 52,72 triliun.

Jumlahnya memang berkurang dari tahun sebelumnya Rp 53,31 triliun. Tapi kewajiban utang klaim mencapai Rp 13,08 triliun, bengkak dari Desember 2018 yakni Rp 4,75 triliun.

Dalam rapat kerja bersama dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Sri Mulyani menyebutkan pemerintah menyiapkan bantuan kepada BUMN sebesar Rp 37,38 triliun. Salah satunya akan dialokasikan untuk membantu Jiwasraya.

Bantuan kepada Jiwasraya berupa PMN ini akan masuk ke BPUI sebesar Rp 20 triliun. Anggaran BPUI ini naik dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp 6,28 triliun.

“BPUI ada hubungannya tentu dengan penanganan masalah (dana nasabah) Jiwasraya,” ujar Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Selasa (15/90).

Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VI DPR, Rabu (9/9/2020), manajemen Bahana mengungkapkan total dana yang diperlukan untuk menyelesaikan persoalan likuiditas Jiwasraya mencapai Rp 24,2 triliun.

Besaran dana itu adalah bagian dari skema yang ditetapkan dalam penyelesaian kondisi keuangan Jiwasraya.

Dari jumlah kebutuhan itu, akan ditopang melalui PMN Rp 20 triliun, sisanya akan dicari lewat pencarian dana alias fund raising.

Nah, cara menyuntiknya akan dilakukan lewat pendirian anak usaha. Bahana yang kini memakai brand Indonesia Financial Group (IFG) akan mendirikan anak usaha baru dengan nama IFG Life guna menyelamatkan Jiwasraya.

Selain mendapatkan dana Rp 20 triliun, perusahaan baru ini akan menampung portofolio Jiwasraya yang sudah direstrukturisasi.

“Pendirian IFG Life juga didasarkan kebutuhan yang ada saat ini di industri asuransi. IFG Life, Indonesia Finansial Group Life,” kata Direktur Utama BPUI Robertus Bilitea, di Komisi VI DPR RI.

Direktur Bisnis Bahana, Pantro Pander Silitonga, juga menjelaskan masih ada equity gap (selisih ekuitas) yang mencapai Rp 24,2 triliun, sehingga perseroan akan melakukan pencarian dana.

Caranya, BPUI atau IFG Life akan melakukan fund rising menggunakan dividen anak perusahaan lainnya sebagai sumber pembayarannya. Fund rising atau pencarian dana dilakukan sekitar Rp 4,7 triliun.

Skema PMN ini akhirnya diputuskan setelah sebelumnya dibahas tiga skenario, yakni pertama bail-out, kedua restrukturisasi, transfer, dan bail-in, dan opsi ketiga ialah likuidasi. Skema bail-out sejak awal memang mendapat reaksi keras publik, sehingga muncullah pilihan skema bail-in.

“Dari 3 opsi yang selama ini kami diskusikan dalam tim kami memutuskan opsi untuk menyelamatkan dan memberikan perlindungan para pemegang polis di Jiwasraya lewat restrukturisasi, transfer dan, bail-in,” kata Pantro.

Dia mengatakan alasan pemilihan opsi bail-in karena jauh lebih bisa memberikan perlindungan kepada pemegang polis.

Sebagai informasi, literatur keuangan menjelaskan, skema bail-inmerupakan skema penyelesaian permasalahan perusahaan dengan menggunakan sumber pendanaan dari dalam perusahaan itu sendiri, yang berasal dari pemegang saham.

Reaksi soal PMN pun bermunculan. Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menolak keras rencana pemerintah menyuntikkan uang negara bagi penyelamatan Jiwasraya lewat Bahana sebesar Rp 20 triliun dari duit PMN.

“Skandal Jiwasraya ini jelas ‘perampokan’, atau skandal korupsi secara terstruktur dan sistematis. Jadi tidak selayaknya untuk di-bailout menggunakan uang negara, uang rakyat,” katanya dalam keterangan resmi, diterima CNBC Indonesia, Kamis (17/9/2020).

Anggota DPR dari Fraksi PKS ini menegaskan, yang seharusnya dilakukan adalah upaya memburu aset-aset yang ‘dirampok’ dan dikorupsi, serta dikembalikan untuk membayar klaim nasabah.

Menurut Ecky, Asuransi Jiwasraya telah menjadi skandal jauh sejak sebelum pandemi Covid-19 melanda.

Ecky Awal Mucharam/Dok.PKSFoto: Ecky Awal Mucharam/Dok.PKS
Ecky Awal Mucharam/Dok.PKS

Sekarang, skandal itu malah menjadi beban berat pada anggaran negara di tengah program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang belum optimal.

“Jiwasraya hanya satu dari sekian BUMN yang bermasalah akibat mismanagement dalam mengelola perusahaan yang di dalamnya terdapat unsur moral hazard. Pemerintah seharusnya berkonsentrasi dalam melakukan pembenahan secara komprehensif dan tidak segan memburu para pelaku skandal, bukan malah dengan mudahnya menggunakan resources negara yang ada untuk menambal likuiditasnya,” tegasnya.

Dalam beberapa waktu terakhir menurutnya, selain Jiwasraya, Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, dan PT Asabri (Persero), serta beberapa asuransi dan manajer investasi lainnya juga sedang menghadapi skandal investasi yang bermasalah sehingga berdampak pada masalah likuiditas.

“Berbagai kondisi ini secara umum menunjukkan adanya potensi moral hazard yang terskenario dalam sektor asuransi dan manajer investasi di pasar modal.”

“BUMN yang masuk dalam ‘permainan kotor’ investasi yang kemudian terjerembab dalam masalah likuiditas, tidak layak diberikan bantuan oleh negara. Anggaran negara diperoleh dari uang keringat rakyat dan menjadi tidak adil jika harus digunakan untuk menanggung biaya perusahaan yang telah ‘dirampok’ oleh sekelompok orang,” katanya.

Sebab itu, legislator PKS ini juga menekankan bahwa di tengah sulitnya perekonomian, di mana pemerintah mencari sumber-sumber pendanaan dengan menerbitkan utang baru yang tidak murah, tidak tepat jika harus menanggung beban BUMN yang sakit akibat adanya fraud, ‘perampokan’ dan korupsi.

“Sebaiknya kejar dan buru aset-aset yang telah ‘dirampok’. Gunakan seluruh kekuatan yang ada. Kembalikan seluruh aset yang telah dijarah. Jangan gunakan uang negara. Jangan gunakan uang dari keringat rakyat untuk menambal atau mensubsidi berbagai ‘perampokan’ itu”, pungkasnya.

Saat ini kasus hukum terkait dengan Jiwasraya masih disidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Ada enam terdakwa yakni Benny Tjokrosaputro (Bentjok), Direktur Utama Hanson International Tbk (MYRX), Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) dan Joko Hartono Tirto, Direktur PT Maxima Integra.

Tiga lainnya yaitu Hary Prasetyo, Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2013-2018, dan Hendrisman Rahim yang juga Direktur Utama Jiwasraya periode 2008-2018 dan Syahmirwan, mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya.

Selain enam terdakwa, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga menetapkan 13 perusahaan manajer investasi dan satu pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai tersangka yang terseret di kasus Jiwasraya.

Lantas bagaimana dengan aset para terdakwa?

Penyidik Kejaksaan Agung menyatakan telah melakukan menyita aset terkait kasus Jiwasraya sebesar Rp 18,4 triliun. Nilai ini lebih tinggi dari nilai kerugian investasi Jiwasraya yang ditetapkan BPK sebesar Rp 16,8 triliun.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Hari Setiyono menuturkan, nantinya aset yang disita akan dibuktikan di persidangan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di PN Jakarta Pusat sebelum ditetapkan sebagai barang sitaan milik negara.

“Untuk aset yang disita nanti tergantung pembuktian apakah seluruhnya atau sebagian akan dirampas untuk negara atau sebagian dikembalikan darimana aset tersebut disita jika tidak terkait perkara,” kata Hari, Jumat (18/9).

Dalam kesempatan sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Ali Mukartono dalam Rapat Panja di Komisi III DPR menjelaskan, aset yang disita tidak akan dikembalikan kepada nasabah karena merupakan kasus tindak pidana korupsi.

“PT AJS merupakan perkara korupsi, penuntut umum akan menuntut atas benda sitaan untuk dirampas dan dikembalikan kepada negara. Upaya tersebut merupakan bentuk upaya Kejaksaan dalam memenuhi hak-hak para nasabah,” ujarnya.

Editor : Aron
Sumber : cnbcindonesia