Wakil Menteri Agama (Wamenag), Zainut Tauhid Sa’adi berharap pemerintah dapat membentuk pendakwah yang menyampaikan syiar agama dengan nilai-nilai moderat dan dapat mengikuti perubahan zaman.

“Tak bisa dipungkiri banyak perubahan zaman yang harus kita jawab dengan perspektif yang moderat. Kita berharap penceramah bertambah wawasan dan ilmu. Punya integritas yang tinggi untuk mensyiarkan keberagamaan yang moderat,” kata Zainut saat membuka Bimtek Penguatan Kompetensi Penceramah Agama yang disiarkan di Youtube Kemenag RI, Jumat (18/9).

Zainut mengatakan perkembangan zaman merupakan hal yang tak bisa dihindari. Menurutnya, perkembangan zaman juga banyak melahirkan budaya baru yang menjunjung kecepatan, ketepatan, dan kemudahan.

Ia melihat ada sisi positif dan negatif dari budaya baru tersebut. Sisi positifnya, bisa menjadi alat untuk mengembangkan pola bimbingan keberagamaan. Namun, sisi negatifnya, budaya baru kerap bertentangan dengan nilai keberagamaan di Indonesia.

Zainut menyebut meneguhkan Pancasila ketika merumuskan arah keberagamaan juga jadi tantangan sendiri. Untuk itu, ia mendambakan sosok penceramah yang dapat menjawab perkembangan zaman dan budaya ini.

“Saya lihat banyak sosok penceramah, tokoh agama, yang eksis mengedukasi masyarakat dengan bahasa agama yang ringan dan mudah dipahami. Kita kaya dengan sosok yang berwawasan demokrat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Zainut menyebut pandemi Covid-19 sebagai salah satu contoh perubahan yang rumit dan berkembang cepat saat ini. Pandemi membawa banyak perubahan pada tatanan hidup masyarakat, baik secara ekonomi dan sosial.

Menurutnya, kegiatan keberagamaan pun banyak terkendala, karena menyesuaikan protokol kesehatan di tengah pandemi Covid-19. Ia menilai penceramah dan tokoh agama bisa berperan penting dalam membimbing umat melewati pandemi dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

“Inilah yang melatarbelakangi kegiatan penceramah agama bersertifikat. Kegiatan ini bertujuan mengembangkan kompetensi para penceramah agama sehingga memenuhi tuntutan zaman dan menentukan peran di tengah modernitas,” katanya.

Ubah Nama Program

Dalam kesempatan tersebut, Zainut meresmikan program yang kini bernama Penguatan Kompetensi Penceramah Agama. Acara tersebut dihadiri lebih sembilan puluh penceramah perwakilan dari 53 lembaga sosial keagamaan.

“Bismillahirrahmanirrahim, dengan niat baik memberikan penguatan dan pembinaan, kami launching Program Penguatan Kompetensi Penceramah Agama,” kata Zainut.

Zainut menegaskan bahwa program tersebut bukan lah sertifikasi agama, tapi lebih ke pembinaan teknis dalam rangka penguatan kompetensi penceramah agama.

Program ini tidak hanya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bimas Islam, tapi juga Direktorat Jenderal Bimas Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, serta Pusat Pembinaan dan Pendidikan (Pusbindik) Khonghucu.

“Ini bukan sertifikasi. Tidak ada paksaan untuk mengikuti program ini. Sifatnya sukarela. Karenanya, yang tidak ikut Bimtek juga tidak terhalang haknya untuk terus berdakwah. Kemenag akan menjalin kerja sama dengan Majelis serta Lembaga atau Ormas Keagamaan,” ujarnya.

Turut hadir dalam acara tersebut pewakilan majelis agama, di antaranya perwakilan dari KWI, PGLII, PGPI, PGI, serta  PHDI. Hadir pula perwakilan dari Mabes Polri, BPIP, BNPT  dan Lemhanas.

Khusus terkait penceramah agama Islam, Dirjen Bimas Islam, Kamaruddin Amin menambahkan bahwa tahun ini pihaknya akan memberikan penguatan kompetensi kepada 8.200 penceramah agama. Jumlah ini terdiri dari 200 penceramah peserta bimtek Kemenag pusat dan 8.000 penceramah peserta bimtek yang dilakukan Kemenag Provinsi.

“Panitia akan bersurat kepada ormas dan lembaga untuk mengirim peserta. Panitia juga bisa langsung bersurat kepada peserta perorangan, khususnya kepada penceramah yang bukan berasal dari ormas ,” ujarnya.

Mulanya, program sertifikasi penceramah yang diusulkan Menteri Agama Fachrul Razi itu mendapat sejumlah penolakan dari ormas keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), PP Muhammadiyah hingga PA 212.

MUI menilai program sertifikasi penceramah berpotensi menyulitkan umat Islam dan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengontrol kehidupan beragama.

Namun begitu, program tersebut tetap berlanjut dan dibuka secara resmi oleh Kemenag 16 September lalu. Terdapat 97 peserta dari 53 organisasi masyarakat yang mengikuti kegiatan ini.

 

 

Editor : Parna

Sumber : cnnindonesia