Jakarta – Masalah stunting atau gagal tumbuh masih menghantui sebagian besar ibu dan anak-anak di Indonesia. Dari data riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2019, angka stunting di Indonesia mencapai 30,8 persen. Angka 30,8 persen ini memang turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, angka ini masih jauh dari angka toleransi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
WHO sendiri membuat toleransi bahwa angka stunting tidak boleh lebih dari 20 persen. Dengan angka stunting 30,8%, WHO menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan kasus tertinggi di Asia.
Ada beberapa hal yang menyebabkan lahirnya anak-anak stunting. Pertama, kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Banyak keluarga di Indonesia berada di garis kemiskinan atau di bawahnya yang tidak pernah tersentuh oleh program stimulus pemerintah dalam meningkatkan pendapatan ekonominya. Akibatnya banyak keluarga kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya secara layak, termasuk memenuhi kecukupan asupan tinggi gizi untuk anak-anak.
Kedua, pola asuh orang tua yang salah mengenai asupan gizi. Banyak keluarga yang belum memiliki pengetahuan memadai tentang asupan bergizi sehingga memengaruhi pola pemilihan konsumsi keluarga. Pengetahuan tentang pengolahan bahan makanan juga masih kurang sehingga aktivitas memasak seringkali merusak kandungan gizi dalam makanan. Keadaan ini diperparah dengan maraknya iklan tentang makan siap saji di media yang memengaruhi pilihan konsumsi.
Berantas Stunting untuk Generasi Emas Indonesia (1)
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher
Selain itu, kondisi ini juga berkaitan dengan masalah pertama, yaitu kesulitan ekonomi. Ibaratnya ‘untuk makan saja susah, apalagi mikirin gizinya”. Sehingga yang terjadi adalah keterpaksaan untuk memberikan makanan apa adanya.
Ketiga, infeksi pada 1000 hari pertama kehidupan. Hal ini berkaitan dengan pola asuh, lingkungan dan higienitas yang buruk.
Di tengah kondisi di atas, harapan mendapatkan sumber pangan tinggi gizi untuk anak-anak adalah dengan pemberian air susu Ibu (ASI) secara benar dan efektif. Berdasarkan sejumlah penelitian, ASI memiliki kandungan unsur lengkap, tinggi gizi dan sesuai untuk tumbuh kembang anak di usia awalnya. Ilmu pengetahuan kemudian menganjurkan pemberian ASI enam bulan eksklusif (hanya memberi ASI saja dan tidak yang lain) pada bayi.
Sayangnya, fakta dari survey demografi dan kesehatan tahun 2017 menunjukkan baru sejumlah 51.5 persen Ibu yang memberikan ASI saja dan rata-rata diberikan dalam jangka waktu tiga bulan. Permasalahan ini diperparah dengan penambahan asupan makanan yang ultra proses (pangan praktis, industri pengolahan, dsb) serta produk susu pertumbuhan yang tinggi gula pada bayi.
Padahal, bicara pangan ultra proses, ada sejumlah masalah yang ditimbulkannya, antara lain: (a) menjadi penyebab obesitas. (b) penyebab gangguan gizi pada tumbuh kembang anak. (c) penyebab penyakit tidak menular (Diabetes, hipertensi, sindroma metabolic). (d) menyebabkan kecanduan karena dianggap praktis, mudah didapat serta ekonomis. (e) menyasar kelompok menengah ke bawah.
Banyaknya masalah-masalah yang muncul dan saling berkaitan satu sama lainnya, membuat upaya untuk menekan angka stunting membutuhkan kinerja ekstra yang luar biasa. Penyelesaian masalah tidak bisa dilakukan hanya pada satu aspek, tetapi harus dilakukan dari yang paling dasar atau dari hulu ke hilir.
Apa yang harus dilakukan?
Masalah stunting pada anak Indonesia adalah masalah bersama karena menyangkut masa depan generasi bangsa. Oleh karena itu, semua pihak harus terlibat aktif dalam upaya pemberantasan stunting di Indonesia. Jika tidak waspada, angka stunting dapat melonjak dan kita akan mengalami kerugian besar di masa depan.
Dengan demikian sangat penting untuk saling mengedukasi dan mengingatkan tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam upaya memberantas stunting di Indonesia.
Pertama, sebagai pemangku kebijakan pemerintah harus lebih gencar mengintervensi pola asuh asupan gizi orang tua kepada anak. Apakah selama ini pemerintah sudah maksimal mengedukasi para orang tua mengenai bahaya stunting, pentingnya ASI dan pola asuh yang baik, asupan tinggi gizi, bahaya zat kimia dalam makanan, dan sebagainya? Bagaimana edukasi dan sosialisasi terhadap orang tua yang tinggal di pelosok daerah dan perbatasan? Apakah program kesehatan yang digulirkan pemerintah sudah efektif?
Kita tidak ingin program pemerintah hanya sebatas pelaksanaan program tanpa memberi dampak apa pun. Harus ada evaluasi efektivitas program terhadap penurunan angka stunting.
Kedua, intervensi perlu dilakukan kepada anak yang tumbuh remaja, saat akan menikah, dan akan melahirkan. Faktanya di lapangan banyak pasangan yang akan menikah tidak mendapat bimbingan pra nikah terkait kesehatan Ibu dan anak; serta kurangnya memberi bekalan pada calon orang tua agar memahami tugas dan kewajiban dalam tumbuh kembang anak. Bagaimana kita mengharapkan lahir generasi sehat dan kuat jika para calon orang tua tidak memahami dengan baik tugas dsn kewajibannya
Ketiga, pentingnya pengawasan berkelanjutan terhadap implementasi regulasi ASI, label pangan, iklan makanan dan pangan tinggi gizi. Pemerintah melalui BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sebagai pemegang otoritas pengawasan makanan harus menunjukkan kinerja tinggi. Semua bentuk pelanggaran terhadap regulasi yang telah dibuat harus ditertibkan. Jangan sampai lemahnya pengawasan berdampak pada rentannya kesehatan masyarakat akibat terpapar gempuran informasi dari korporasi besar dalam menjajakan produknya.
Keempat, mendorong dan memperkuat peran kolaborasi penta helix dalam mewujudkan masyarakat sadar gizi dan kesehatan ibu dan anak. Semua pihak dari berbagai unsur harus terlibat dan berkolaborasi optimal untuk menekan angka stunting di Indonesia.
Kelima, mendorong kehadiran pemimpin yang transformatif, community leader dan strategic leader baik di lingkungan pengambil kebijakan, tenaga kesehatan maupun di masyarakat yang mampu menjawab permasalahan gizi, stunting dan kesehatan lainnya. Para pemimpin harus memiliki political will dan political action yang jelas dalam menekan angka stunting dan menyelesaikan problem kesehatan lainnnya. Tugas pemimpin adalah hadir dan memberikan solusi atas persoalan rakyat, bukan membangun pencitraan diri dan panggung polirik.
Keenam, mendorong lahir dan terealisasinya kebijakan, program dan aturan yang mendukung mother and family mainstreaming seperti cuti ibu hamil dan menyusui, cuti melahirkan serta dukungan-dukungan hak lainnya. Hal ini perlu dilakukan agar para orang tua dapat fokus pada buah hatinya, terutama pada masa 1000 hari pertama kehidupan. Cerdas dan sehatlah generasi anak Indonesia, maka jayalah bangsa dan negara tercinta!

Editor : Aron

Sumber : kumparan