PT Asuransi Jiwasraya (Persero) santer menjadi sorotan sejak dua tahun lalu akibat kasus gagal bayar terhadap klaim dari nasabah. Totalnya sekitar Rp802 miliar pada 2018 dan membengkak menjadi Rp12,4 triliun pada akhir 2019.

Hal ini terjadi karena ‘seretnya’ likuiditas perusahaan. Perusahaan pun mau tidak mau harus menunda pembayaran klaim hingga akhirnya mendapat kecaman dari para nasabahnya.

Di sisi lain, masalah juga muncul karena asuransi BUMN itu menempatkan investasi pada saham-saham ‘gorengan’. Salah penempatan ini membuat perusahaan rugi mencapai Rp10,4 triliun.

Masalah-masalah ini membuat perusahaan hingga pemerintah selaku pemegang saham harus ‘putar otak’ agar bisa terselesaikan. Salah satu langkah cepat adalah melakukan pembayaran sebagian.

Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengatakan perusahaan akan membayar sebagian klaim atau sekitar Rp470 miliar pada tahap pertama. Pembayaran utang klaim diberikan kepada 15 ribu nasabah pemegang polis tradisional.

“Jadi tahap pertama ini, karena terbatasnya dana, maka pembayaran dilakukan kepada pemegang polis tradisional yang relatif kecil,” kata Hexana, Maret 2020.

Pembayaran sebagian ini memanfaatkan sumber dana dari likuidasi aset finansial milik perseroan. Perusahaan juga sempat menjual aset perusahaan berupa pusat perbelanjaan Cilandak Town Square (Citos) di Jakarta Selatan.

Pertama, membentuk holding perusahaan asuransi dengan target perolehan dana sebesar Rp1,5 triliun sampai Rp2 triliun dalam jangka pendek dan Rp8 triliun dalam jangka panjang.

“Lalu ada aset saham yang hari ini sudah dideteksi, valuasinya sampai Rp2 triliun sampai Rp3 triliun. Dengan konsep saving plan bisa berjalan,” katanya. Tak cuma pembayaran sebagian, Menteri BUMN Erick Thohir sempat menciptakan tiga jurus tambahan untuk menyelesaikan masalah Jiwasraya.

Kedua, mencari investor untuk bergabung dengan anak usaha perusahaan, PT Jiwasraya Putra. Targetnya, jurus ini bisa menghasilkan tambahan likuiditas bagi perusahaan asuransi negara sekitar Rp1 triliun sampai Rp3 triliun.

Ketiga, restrukturisasi produk polis perusahaan. Produk polis yang berbunga terlalu tinggi akan dirasionalkan, sehingga memberikan bunga yang normal.

Dari tiga jurus ini, Erick pun menunjuk PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) atau BPUI menjadi induk holding asuransi. Erick mendapuk Robertus Bilitea sebagai Direktur Utama BPUI.

Namun tak lama berselang, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengungkap jurus lain yang tengah disiapkan pemerintah, yaitu membentuk perusahaan asuransi baru bernama PT Nusantara Life. Pembentukan Nusantara Life ini bertujuan untuk menyelamatkan nasabah Jiwasraya.

Tiko, sapaan akrabnya, mengatakan Nusantara Life nantinya akan berada di bawah holding asuransi yang diinduki BPUI. Selanjutnya, pemerintah akan mengarahkan nasabah Jiwasraya secara perlahan agar mau memindahkan polisnya ke Nusantara Life.

Namun belum ada kelanjutan Nusantara Life, Kementerian BUMN justru menunjuk BPUI untuk mengambil alih portofolio Jiwasraya. BPUI pun diberi suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp20 triliun.

Rencananya BPUI akan mendirikan perusahaan yang bergerak di lini usaha asuransi jiwa, yakni Indonesia Finansial Group Life (IFG) Life. Perusahaan ini berbeda dengan Nusantara Life yang sebelumnya ingin dijadikan perusahaan peralihan nasabah Jiwasraya.

“IFG Life nantinya mendapat PMN sebesar Rp20 triliun melalui PT BPUI. Pendirian didasarkan oleh kebutuhan yang ada saat ini di industri asuransi,” kata Direktur Utama BPUI Robertus Bilitea.

Menurut Robertus, ada beberapa langkah penyelamatan baru untuk Jiwasraya, mulai dari bail out, restrukturisasi, hingga penyuntikan likuiditas. Kalkulasinya, dibutuhkan setidaknya Rp24,7 triliun untuk menyelamatkan Jiwasraya, sementara PMN hanya Rp20 triliun. Maka, PT BPUI harus melakukan fund raising sebesar Rp4,7 triliun dengan underlying dividen anak perusahaan BPUI lainnya.

“Opsi ini dipakai karena jauh lebih memberikan perlindungan kepada pemegang polis sejauh memitigasi semua gugatan yang kemungkinan bisa timbul di kemudian hari dibanding opsi likuidasi yang memberi dampak risiko hukum dan reputasi yang massif,” pungkasnya.

 

 

Editor : Parna

Sumber : cnnindonesia