Kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari masuk babak baru. Selain dirinya, terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra juga dijerat tersangka.
Djoko Tjandra diduga memberikan USD 500 ribu kepada Jaksa Pinangki untuk urus fatwa di Mahkamah Agung (MA). Selain itu Jaksa Pinangki juga diduga terima mobil BMW dan sang Joker.
Saat ini penanganan kasus suap itu dikerjakan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun publik mulai meragukan penanganan oknum jaksa apabila dilakukan oleh institusi yang menaunginya karena dinilai kental akan konflik kepentingan.
Komisi Kejaksaan (Komjak) misalnya, yang merekomendasikan penanganan kasus Pinangki oleh KPK agar tidak akan menimbulkan conflict of interest macam itu dan juga agar lebih profesional.
Belum lagi pernyataan dari Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang meminta KPK ambil alih kasus tersebut.
Menyambut sejumlah dorongan itu, Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, mengatakan sejak awal mencuatnya perkara-perkara yang melibatkan penegak hukum, memang sebaiknya ditangani KPK. Sebab hal tersebut sesuai dengan domain KPK yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 yang berbunyi:
Pasal 11
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara.
“Saya selalu dalam sikap, sebaiknya perkara-perkara dimaksud ditangani oleh KPK, karena memang perkara-perkara dengan tipologi seperti itulah yang menjadi ‘domain’ kewenangan KPK, termasuk perkara yang melibatkan penyelenggara negara,” ujar Nawawi kepada wartawan pada Kamis (27/8).
Meski demikian, kata Nawawi, KPK tidak bermaksud menangani perkara itu dengan mengambil alih. Melainkan lebih berharap Kejagung dengan sukarela menyerahkannya ke KPK.
“Saya tidak berbicara dengan konsep ‘pengambil-alihan’ perkara yang memang juga menjadi kewenangan KPK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10A UU Nomor 19 tahun 2019. Tetapi lebih berharap pada inisiasi institusi-institusi tersebutlah yang mau menyerahkan sendiri penanganan perkaranya kepada KPK,” ucapnya.
Merespons adanya permintaan inisiatif menyerahkan kasus itu, Kapuspenkum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan bahwa pihaknya juga memiliki wewenang untuk menangani kasus rasuah. Sehingga, kasus Jaksa Pinangki akan ditangani oleh Kejagung.
“Penyidikan masing-masing punya kewenangan. Kami aparat penegak hukum saling support itu ada namanya kordinasi supervisi. Kami melakukan penyidikan penuntut umum juga di sini, jadi tidak ada yang tadi dikatakan ada inisiatif menyerahkan, tapi mari kita kembali kepada aturan,” kata Hari dalam konpers di Kejagung, Kamis (27/8).
Menanggapi pernyataan Hari itu, Nawawi kembali mengatakan bahwa penanganan kasus bukan bicara soal wewenang. Ia menyatakan Kejagung memang berwenang menangani kasus tersebut. Namun demikian, kata Nawawi, KPK lebih cocok.
“Saya tidak bicara soal kewenangan. it’s oke sama-sama berwenang. Tapi saya katakan, siapa yang ‘paling pas’ menangani agar bisa melahirkan public trust,” ujar Nawawi kepada wartawan pada Kamis (27/8).
Nawawi menegaskan dukungan publik dalam menangani sebuah perkara sangat penting. Sehingga ketika lembaga penegak hukum mendapat kepercayaan dari masyarakat, perkara bisa dituntaskan dengan baik. Sebaliknya jika tidak, apa pun yang dikerjakan penegak hukum, masyarakat akan memandang negatif.
“Kepercayaan publik itu hal yang sangat penting. Tapi kalau memang merasa paling berwenang dan mampu melakukannya dengan baik dan transparan, ya silakan saja. Toh pada akhirnya, publik yang akan menilainya,” ucapnya.
Sementara itu, ICW mengungkapkan 4 alasan mengapa keraguan penanganan perkara Jaksa Pinangki itu muncul terhadap Kejagung.
Pertama, Kejagung sempat menerbitkan pedoman pemeriksaan jaksa harus seizin Jaksa Agung. Pedoman ini pada akhirnya dicabut usai dikritisi publik.
Kedua, kata Kurnia, Kejagung sempat berencana untuk memberikan bantuan hukum kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Ketiga, kata Kurnia, Komisi Kejaksaan tidak diberikan akses untuk memeriksa Pinangki.
Lalu keempat, Kurnia menyebut Kejagung diduga tidak pernah melibatkan KPK dalam setiap proses penanganan perkara.
Atas empat alasan itu, Kurnia menagih komitmen keberanian pimpinan KPK untuk bisa mengambil alih perkara Jaksa Pinangki. Hal ini dinilai sangat dimungkinkan karena KPK memiliki wewenang ambil alih tersebut.
“Pada dasarnya hal itu amat dimungkinkan, Pasal 10 A UU KPK menyebutkan bahwa KPK berwenang mengambil alih penyidikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan,” kata Kurnia.
Jadi institusi mana yang layak tangani kasus ini?
Editor : Parna
Sumber : kumparan