JAKARTA – Kementerian BUMN menilai wajar apabila posisi komisaris di perusahaan pelat merah diisi oleh perwakilan dari kementerian/lembaga (k/l). Artinya, tak ada masalah dengan rangkap jabatan pejabat negara yang memiliki tanggung jawab besar di k/l dan di perusahaan BUMN.
Toh, Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga menyatakan mayoritas saham BUMN digenggam oleh pemerintah. Karenanya, pemerintah sebagai pemegang saham akan menempatkan perwakilannya untuk menjadi komisaris di BUMN.

“Wajar diambilnya dari kementerian-kementerian teknis yang memang paham masalah teknis di perusahaan atau dari lembaga lainnya yang punya kaitan dengan industri tersebut atau kebutuhan untuk masalah hukum. Jadi sangat wajar kalau dari kementerian/lembaga juga yang menempati posisi komisaris,” ungkap Arya, dikutip Senin (29/6).

Arya bilang penunjukan komisaris sudah dilakukan sesuai aturan yang berlaku. Tepatnya, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Ia bilang setiap BUMN perlu ada komisaris yang berasal dari perwakilan pemerintah. Pasalnya, perwakilan itu yang akan mewakili kepentingan pemegang saham, dalam hal ini pemerintah.

“Kalau bukan seperti itu, siapa yang mewakili pemeritnah dalam perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah tersebut kalau bukan dari unsur pemerintah,” terang Arya.

Kemudian, ia menyatakan pihak luar pemerintah yang menjadi komisaris di BUMN disebut sebagai komisaris independen. Komisaris independen akan mewakili kepentingan pemegang saham yang berasal dari luar pemerintah.

Sementara, Arya menjelaskan komisaris sendiri bukanlah jabatan struktural atau fungsional. Komisaris umumnya hanya mengawasi operasional perusahaan dan kinerja direksi.

“Dia (komisaris) bukan day to day bekerja di situ, kan fungsinya pengawasan,” imbuh Arya.

Lagi pula, Arya menegaskan pendapatan yang didapat dari seorang komisaris juga tak bisa disebut gaji, melainkan honorarium. Sementara, jika seseorang memiliki rangkap jabatan maka akan memiliki dua gaji.

“Kalau dia (komisaris) rangkap jabatan, gaji namanya. Tapi ini honorarium dan sangat biasa di pemerintahan kalau ada namanya aparatur sipil negara (ASN) yang ditugaskan untuk tugas-tugas tertentu maka ada tambahan honorarium bagi pejabat-pejabat tersebut,” jelas Arya.

Sebelumnya, mengutip Detik.com, Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih menyatakan terdapat indikasi rangkap jabatan yang dilakukan oleh 397 komisaris BUMN. Mereka umumnya memiliki jabatan di kementerian, non kementerian, hingga akademisi.

Padahal, dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyatakan pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN, dan badan usaha milik daerah (BUMD).

“Inti dari banyak hal, salah satu pembiaran terhadap potensi benturan regulasi dibiarkan sama-sama,” kata Alamsyah.

Begitu juga dengan UU Nomor 34 tentang TNI dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Dua beleid itu menyatakan prajurit dan anggota Polri hanya bisa menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari pekerjaannya.

Editor: PARNA
Sumber: CNN Indonesia