JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) baru saja menetapkan Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fakhri Hilmi sebagai tersangka dalam kasus dugaaan korupsi dan pencucian uang di Asuransi Jiwasraya.
Menariknya, dari penetapan tersangka tersebut justru terkuak adanya kesepakatan antara Fakhri dan mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Erry Firmansyah dalam menutupi penyimpangan investasi Jiwasraya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono menjelaskan, awalnya Fakhri selaku Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A tahun 2016 mengetahui adanya penyimpangan transaksi saham PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP).

Sebab, harga saham itu sudah dinaikkan (mark up) secara signifikan oleh perusahaan milik Heru Hidayat berdasarkan laporan tim Pengawas Direktorat Transaksi Efek (DPTE).

“Saham itu kemudian dijadikan isi portofolio reksadana di 13 manajer investasi, di mana penyertaan modal terbesar dari Asuransi Jiwasraya,” kata Hari dalam keterangan pers, Kamis (25/6).

Selain DPTE, kata Hari, Fakhri juga sudah mengetahui penyimpangan harga saham milik Heru Hidayat dari Direktorat Pengelolaan Investasi (DPIV). Namun, Fakhri tidak memberikan sanksi tegas atas penyimpangan investasi itu. Padahal ia sudah dapat laporan dari DPTE dan DPIV, dua badan yang membawahi direktorat pengawasan pasar modal OJK.

Baca Juga: Belum ada pembatasan dari Kejagung, investor 13 MI terkait Jiwasraya bisa transaksi

Dari keanehan itu, kejaksaan menyebut alasan Fakhri tidak menjatuhkan sanksi tegas karena sudah ada kesepakatan dengan Erry Firmansyah dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartanto Tirto.

Baik Erry maupun Joko, terafiliasi dengan Grup Heru Hidayat. Mereka sudah melakukan pertemuan beberapa kali untuk membahas, agar regulator tidak menjatuhkan sanksi pembekuan kepada 13 MI tersebut.

Atas hal itu, transaksi investasi Jiwasraya di 13 MI itu tetap berjalan pada 2016. Karena Fakhri tidak mengenakan sanksi tegas atas transaksi reksadana itu, maka Jiwasraya rugi Rp 16,8 triliun menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Menurut Hari, penyimpangan transaksi saham tersebut dinilai sebagai tindak pidana pasar modal yang diatur dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 1995 (UUPM).

Atas perbuatan Fakhri, kejaksaan menjeratnya dijerat Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 56 KUHP. Selain itu juga pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 56 KUHP.

Editor: PARNA
Sumber: kontan.co.id