JAKARTA – Kejaksaan Agung belum menahan Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal II OJK berinisial FH yang baru ditetapkan sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
“Sementara ini belum (ditahan),” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono kepada wartawan di Kompleks Kejaksaan Agung, Kamis (25/6).

Dia menjelaskan bahwa meskipun belum ditahan, penyidik sedang mengupayakan pengajuan pencegahan tersangka untuk keluar negeri oleh pihak Imigrasi.

Menurut Hari, pihaknya juga belum menahan tersangka baru ini lantaran masih perlu melakukan pengembangan penyidikan ke depannya.

“Menahan perlu proses, apakah nanti dikhawatirkan melarikan diri. Tapi kalau korporasi tidak mungkin, sementara kalau orang yang ditetapkan baru satu orang,” jelas dia.

Dalam perkara ini FH diduga terlibat korupsi terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya selama menjabat sebagai Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A OJK periode Februari 2014-2017.

FH dijerat dengan dugaan tindak pidana korupsi. Namun, kata Hari tak menutup kemungkinan dia bakal dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).

“Atau setelah tipikor terbukti, ternyata aliran dana ke yang bersangkutan atau di tengah perjalanan lagi ditetapkan sebagai tersangka untuk TPPU,” lanjut dia.

Sebelumnya sudah enam orang ditetapkan sebagai tersangka dan kini telah disidangkan. Mereka yakni Direktur Utama PT Hanson International, Benny Tjokrosaputro; Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat; mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya, Hary Prasetyo.

Kemudian mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya, Hendrisman Rahim; eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan pada PT Asuransi Jiwasraya, Syahmirwan; serta Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto.

Sementara untuk tersangka korporasi yang baru dijerat oleh penyidik yakni PT DM/PAC, PT OMI, PT PPI, PT MD, PT PAM, PT MAM, PT MNC, PT GC, PT JCAM, PT PAAM, PT CC, PT TVI, dan PT SAM.

Peran Tersangka

Kejaksaan Agung menyebut bahwa FH telah mengetahui proses penyimpangan transaksi saham yang berkaitan dengan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada 2016.

Hari menjelaskan bahwa kala itu Hilmi masih menjabat sebagai Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal IIA pada OJK dan membawahi dua Direktorat Pengawasan di institusi tersebut.

“Bahwa Fakhri Hilmi pada 2016 mengetahui adanya penyimpangan transaksi saham PT Inti Agri Resources Tbk. (IIKP) yang harga sahamnya sudah dinaikkan secara signifikan oleh grup Heru Hidayat,” kata Hari.

Lebih lanjut, kata Hari, pengetahuan Fakhri akan penyimpangan tersebut berasal dari laporan Direktorat Transaksi Efek/saham (DPTE) yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan khusus transaksi saham dan berada di bawah Fahri Hilmi.

Laporan kepada Hilmi itu, menyimpulkan bahwa ada penyimpangan transaksi saham yang merupakan tindak pidana pasar modal sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 1995. Bukan hanya itu, dia pun mendapatkan laporan serupa dari Direktorat Pengelolaan Investasi (DPIV).

“Selain itu, DPIV menemukan pengelolaan investasi khusus reksadana dari saham IIKP yang harganya dinaikan secara signifikan oleh grup Heru Hidayat,” tambah dia lagi.

Dalam hal ini, portofolio produk reksadana tersebut diduga dikeola oleh 13 MI (Manajer Investasi) milik PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang telah ditetapkan juga sebagai tersangka korporasi dalam perkara ini.

Berdasarkan dua temuan Direktorat tersebut, Kejaksaan menduga bahwa Hilmi tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap produk reksadana yang dimaksud karena telah ada kesepakatan dengan Erry Firmansyah dan terdakwa Joko Hartono Tirto yang diduga terafiliasi dengan Heru Hidayat.

“Dengan melakukan beberapa kali pertemuan yang bertujuan untuk tidak menjatuhkan sanksi pembekuan kegiatan usaha kepada 13 MI (Manajer Investasi),” kata dia.

“Bahwa akibat dari perbuatan Fahri Hilmi yang tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap produk reksadana dimaksud pada tahun 2016 menyebabkan kerugian yang lebih besar bagi PT. Asuransi Jiwasraya pada tahun 2018 hingga mencapai sebesar Rp.16,8 T,” tambah dia lagi.

Dia pun akhirnya dijerat oleh kejaksaan dengan pasal Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 56 KUHP subsidair Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 56 KUHP.

Editor: PARNA
Sumber: CNN Indonesia