JAKARTA – Kejaksaan Agung menetapkan lima orang tersangka kasus perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam importasi tekstil pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (BC) tahun 2018 sampai dengan tahun 2020.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono mengatakan, dari lima tersangka tersebut, empat diantaranya dari pejabat Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sedangkan satu orang lagi adalah pengusaha.

Penetapan tersebut sesuai dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-22/F.2/Fd,2/04/2020 yang dikeluarkan pada 27 April 2020.

“Penetapan terhadap 5 orang tersangka ini didasarkan atas alat bukti yang sudah diperoleh oleh penyidik sebagaimana definisi penyidikan yang telah dilakukan tadi (hari ini),” kata Hari Setiyono, Rabu (24/6/2020).

Penyidik juga sudah melakukan pemeriksaan terhadap 49 saksi lainnya. Dari ahli sebanyak 3 orang dan telah melakukan upaya penyitaan terhadap beberapa barang bukti yang diduga berasal dari hasil kejahatan atau yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang disangkakan.

Hari menambahkan, tindak dugaan pidana korupsi dalam importasi tekstil ini adalah adanya pengurangan volume dan jenis barang dengan tujuan mengurangi kewajiban bea masuk.

“Ada 27 kontainer di Batam tanpa dilindungi surat-surat tadi, kemudian ditemukan lagi ada 57 kontainer yang mungkin teman-teman kemarin sempat mendengar di Tanjung Priok dan sementara ini hasil penyelidikan tim penyidik ternyata 556 kontainer,” kata Hari.

Kelima tersangka tersebut adalah Kabid Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan KPU di Bea dan Cukai Batam (MM), Kepala Seksi Pabean dan Cukai di Bea dan Cukai Batam (DA), Kepala Seksi Pabean dan Cukai di Bea dan Cukai Batam (HAW) dan Kepala Seksi Pabean dan Cukai (PPC) II Bea Cukai Batam. Sementara tersangka dari pengusaha adalah IR, pemilik PT. Fleming Indo Batam dan PT. Peter Garmindo Prima.

Terkait kerugian negara dari kasus ini, Hari mengatakan, hal tersebut masih dalam penghitungan. “Berapa nilai dugaan kerugian keuangan negara, tentu masih dalam penghitungan, karena tentu masing-masing kontainer memiliki nilai yang berbeda,” ujarnya.

Tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Selain itu tersangka juga dijerat Pasal 3 UU No. 31Tahun 1999 jo No.20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Kasus ini bermula dari penemuan 27 kontainer milik PT Flemings Indo Batam (FIB) dan PT Peter Garmindo Prima (PGP) di Pelabuhan Tanjung Priok, pada 2 Maret 2020. Setelah dicek, Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok menemukan jumlah dan jenis barang dalam kontainer tidak sesuai dengan dokumen.

“Setelah dihitung, terdapat kelebihan fisik barang, masing-masing untuk PT PGP sebanyak 5.075 roll dan PT FIB sebanyak 3.075 roll,” kata Hari, Selasa (12/5/2020).

Berdasarkan dokumen pengiriman, kain tersebut seharusnya berasal dari India. Padahal kain-kain tersebut berasal dari China dan tidak pernah singgah di India.

Temuan Kejagung, kapal yang mengangkut kontainer tersebut berangkat dari pelabuhan di Hongkong, singgah di Malaysia dan bersandar di Batam.

Dari titik awal, yaitu Hongkong, kontainer mengangkut kain jenis brokat, sutra dan satin. Namun, muatan tersebut dipindahkan tanpa pengawasan otoritas berwajib di Batam.

“Dipindahkan ke kontainer yang berbeda di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di Kawasan Pabean Batu Ampar tanpa pengawasan oleh Bidang P2 dan Bidang Kepabeanan dan Cukai KPU Batam,” tuturnya.

Parna