JAKARTA – Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Penggunaan Narkotika untuk Kesehatan mengkritik vonis 10 bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) kepada Reyndhart Rossy Siahaan terkait penggunaan ganja pada Senin (22/6) kemarin.
Koalisi menilai majelis hakim tidak menganalisis fakta persidangan secara mendalam. Pasalnya penggunaan ganja oleh Rossy sebagai jalan terakhir pengobatan tidak dijadikan dasar pertimbangan majelis hakim menjatuhkan vonis. Rossy sendiri meminum air rebusan ganja untuk mengobati penyakit gangguan saraf terjepit yang dideritanya sejak 2015.
“Dalam kondisi tersebut, Reyndhart Rossy seharusnya dapat masuk dalam kategori daya paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP dan oleh karena itu sudah seharusnya Reyndhart Rossy lepas dari seluruh tuntutan hukum,” ujar Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Ma’ruf Bajammal dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (23/6).
Ma’ruf menilai proses hukum dalam kasus ini telah mencederai hak atas kesehatan yang dijamin konstitusi dan undang-undang. Selain itu, ia mengatakan putusan tersebut juga mencederai keadilan akibat negara yang belum bisa menyediakan akses pengobatan yang dibutuhkan oleh warganya.
Ma’ruf berharap, kasus Rossy kali ini dapat membuka mata pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo. Bahwa Reyndhart merupakan salah satu contoh nyata korban perang terhadap narkotika yang telah dikampanyekan sejak 2015 lalu.
“Kebijakan perang terhadap narkotika yang rentan salah sasaran karena pemerintah selalu membawa slogan anti narkotika, tetapi tidak pernah berani masuk ke ranah ilmiah untuk menjamin kepentingan publik yang lebih luas,” lanjutnya.
Selayaknya Rossy Bebas
Sementara itu, Aksi Keadilan Indonesia (AKSI), sebuah organisasi HAM yang berbasis komunitas pengguna napza juga merespons putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kupang atas vonis kasus Reyndhart.
Koordinator Advokasi dan Kampanye AKSI Yohan Misero menilai jaksa dan majelis hakim punya empati dan sentimen positif terhadap Rossy yang mengonsumsi ganja untuk tujuan medis.
“Tuntutan JPU yang angkanya satu tahun dan angka putusan Majelis hakim yang 10 bulan cukup mencerminkan hal tersebut. Ini patut diapresiasi mengingat angka-angka tersebut amat rendah bila dibandingkan dengan banyak kasus pengguna narkotika di Indonesia,” ujar Yohan dalam keterangan tertulis.
Kendati demikian, ia menilai, sudah sewajarnya Rossy divonis bebas. Sebab, pertama, terlambatnya Rossy mendapat bantuan hukum sementara saksi-saksi yang dihadirkan hanya dari penyidik. Kemudian juga dakwaan yang dikenakan kepadanya dengan pasal jual beli dan penguasaan narkotika.
Yohan kembali mengingatkan kasus serupa pernah terjadi kepada Fidelis Arie Sudewarto yang divonis delapan bulan penjara oleh majelis hakim juga karena penggunaan ganja untuk pengobatan istrinya.
Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat, pada Agustus 2017 silam menilai Fidelis terbukti bersalah memiliki 39 batang ganja, meski untuk pengobatan istrinya, Yeni Riawati yang memiliki penyakit Syringomyelia atau gangguan saraf tulang belakang yang menyebabkan kelumpuhan.
Ia berharap kasus seperti Rossy dan Fidelis seharusnya dapat diakomodir oleh Pasal 48 KUHP. Yohan juga berharap Indonesia memiliki skema bagi masyarakatnya agar bisa memanfaatkan narkotika golongan I, termasuk ganja, untuk kepentingan medis.
Sebagaimana diketahui, Reyndhart Rossy ditangkap pada 17 November 2019 lalu oleh Polda NTT setelah diduga menggunakan narkoba jenis ganja untuk mengobati penyakitnya.
Warga asli Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur itu ditangkap di indekosnya Kelurahan Wae Kelambu, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Dalam penangkapan itu, polisi menyita barang bukti berupa paket ganja seberat 428,26 gram yang diterima dari jasa pengiriman logistik.
Selain itu, polisi juga menemukan paket ganja seberat 2,528 gram di saku celana Rossy. Pria 37 tahun itu kemudian dinyatakan positif mengonsumsi ganja berdasarkan tes urine dan uji laboratorium di BPOM Kupang.
Editor: PARNA
Sumber: CNN Indonesia