JAKARTA – Insiden Ismail Ahmad, warga Kepulauan Sula, Maluku Utara, yang diminta untuk meminta maaf oleh Polres Kepulauan Sula, karena melontar guyon Gus Dur soal tiga polisi baik, memang telah selesai. Namun tidak demikian dengan publik yang kadung merasa jengkel.
Kapolda Maluku Utara Irjen (Pol) Rikwanto sendiri sudah menegur bawahannya, Kapolres Kepulauan Sula (Kepsul), AKBP Muhammad Irvan dan jajarannya. Namun, sampai hari ini, netizen membicarakan kasus Ismail.

Publik kadung jengkel karena polisi memperkarakan humor.

“Indonesia darurat humor. Makanya humor jadi seperti ini, kok jadi urusan hukum. Itu berarti sudah darurat sekali buat Indonesia. Dan ini sudah kesekian kali,” ujar putri Gus Dur, Alissa Wahid kepada CNNIndonesia.com.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Ujang Komaruddin menilai perkara yang menimpa Ismail lucu. Dalam habitat demokrasi, kata dia, siapapun seharusnya siap menerima kritik.

Dia mempertanyakan respons pemerintah atau polisi dalam kasus ini. Kalaupun guyon kritis Ismail dianggap sangat pedas, menurut Ujang sudah sepatutnya dijadikan alat mengevaluasi diri.

“Apalagi kritikan hadir dalam rekaman oleh tokoh bangsa, mantan Presiden,” kata dia kepada CNNIndonesia.com.

Baginya, kritik-kritik jenaka di atas sudah dilakukan dengan benar karena tanpa penghinaan. Terlebih, warga semakin bisa merasakan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil.

“Masyarakat sudah benar, mengkritik itu benar, yang tidak boleh adalah menghina,” kata Ujang, “Lucu kalau kritik dilarang dan direspons negatif”.

Peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Jati menilai fenomena ini terjadi karena publik semakin ekspresif dalam menyampaikan pendapat serta ingin tahu soal isu terkini.Di sisi lain, negara dalam kondisi waspada terhadap kritik.

“Semakin ingin tahu publik terhadap suatu hal, demikian pula negara merasa cemas,” ujar dia, saat dihubungi CNNIndonesia.com, tanpa merinci kecemasan negara yang dimaksudnya.

Kasus Ismail bermula saat ia menulis status humor di akun media sosial facebook. Statusnya menyitir kelakar Gus Dur soal tiga polisi jujur.

Ismail menulis ‘Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: Patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng’.

Gus Dur melontarkan humor tersebut pada 2008, kepada A.S Hikam, mantan menteri negara riset dan teknologi di eranya.

Humor yang populer di masyarakat itu, justru membuat Ismail harus berhadapan dengan polisi. Dia diperiksa, berujung pada permintaan maaf dirinya secara terbuka di Mapolres Kepsul.

Rikwanto dalam kasus ini mengatakan pihaknya telah melakukan pendalaman. Kepada AKBP Muhammad Irvan, bawahannya, yang telah memanggil warga bernama Ismail itu, ia menyampaikan tindakan itu kurang tepat.

Rikwanto menjelaskan, lelucon Gus Dur yang dikutip Ismail hanya bersifatnya ‘memecut’. Kelakar yang pertama kali dilontarkan Presiden RI keempat itu sudah menjadi milik publik dan tak memiliki nilai-nilai yang mencoreng institusi.

“Setelah saya dalami dengan Kapolres-nya, dengan anggota yang memeriksa, dan obyek yang dipermasalahkan, saya anggap itu kurang tepat. Jadi yang dilakukan oleh Polres Sula itu kurang tepat,” katanya.

Ia juga menyatakan telah menghentikan kasus tersebut. Menurut penuturan Rikwanto, motif Ismail mengutip guyon Gus Dur itu hanya atas dasar suka.

“Yang ditulis Mas Ismail itu bukan masalah, bukan masuk dalam kategori yang perlu diberikan atensi oleh kepolisian,” ujarnya.

“Dan memang ini tindakan kurang tepat oleh anggota dalam mencerna informasi di media sosial,” pungkas Rikwanto.

Kecemasan negara disebut Wasis juga terlihat pada kasus hampir serupa yang menimpa Komika Bintang Emon.

Emon tidak diproses polisi, namun ia harus menerima serangan balik yang konon berasal dari buzzer pemerintah, ketika melontar guyon soal kasus Novel Baswedan.

Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri, menilai kasus yang dialami Ismail mencerminkan kondisi kejiwaan polisi di Indonesia dan pemahamannya soal tugas mereka.

Reza mengutip hasil penelitiannya terkait itu yang menyebut, ada perbedaan persepsi antara polisi di Indonesia dan di Inggris.

Dalam penelitiannya, kata Reza, sebagian besar polisi di Indonesia memahami menjadi polisi adalah menjadi penegak hukum.

Persepsi itu berbeda dengan di Inggris. Dia bilang, polisi di Inggris cenderung lebih memiliki persepsi polisi adalah sahabat masyarakat.

Reza pun mengingatkan bahwa mudah tersinggung berpengaruh pada kesehatan dan kebahagiaan.

“Orang-orang dengan cita rasa humor yang rendah, semakin gampang tersinggung, semakin rendah pula imunitas tubuhnya. Riset lain, selera humor juga berpengaruh terhadap kemampuan diri dalam menikmati hidup,” tutur dia.

Editor: PARNA
Sumber: CNN Indonesia