Tren kasus virus corona di Indonesia masih terus bertambah secara signifikan. Dalam kurun waktu tiga hari terakhir, kasus corona yang terkonfirmasi mengalami lonjakan yang cukup tinggi. Tercatat, per Kamis (11/6), kasus COVID-19 di Indonesia bertambah 979 kasus menjadi totalnya 35.295.

Sedangkan penambahan kasus dalam dua hari sebelumnya, 9-10 Juni, menyentuh angka lebih dari 1.000 kasus per hari. Lantas, kapan sebenarnya puncak pandemi di Indonesia bakal terjadi? Mengingat dalam dua bulan terakhir tren kasus COVID-19 masih terus meningkat dan belum ada penurunan yang signifikan.

Menjawab pertanyaan tersebut, Direktur Eksekutif Center for Clinical Epidemiology & Evidence-Based Medicine FKUI-RSCM, Tifauzia Tyassuma, mengatakan bahwa Indonesia tampaknya akan sedikit sulit dalam menentukan puncak pandemi, kendati penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) telah berdampak cukup baik dalam mengendalikan kurva kasus corona.

“Dengan segala macam kebijakan, termasuk PSBB, telah membuat grafik cukup landai. Tidak meningkat seperti yang diperkirakan model prediksi epidemiologi tanpa intervensi. Artinya, intervensi-intervensi itu berhasil membuat grafik tidak menukik tinggi. Tapi, konsekuensinya, grafik ini landai, tapi enggak sampai ke puncak,” ujar Tifauzia, saat dihubungi kumparan, Kamis (11/6).

Virus Corona-Semarang

Lebih lanjut, jika merujuk pada model prediksi yang dilakukan oleh ahli epidemiologi UI dalam menentukan puncak dan akhir pandemi, seharusnya Indonesia telah memasuki puncak pandemi pada pertengahan Mei kemarin, dengan jumlah kasus mencapai 1,5 hingga 2,5 juta infeksi. Ketika puncak pandemi terjadi, logisnya kurva kasus corona akan menurun karena telah terjadi kekebalan populasi.

“Tetapi, puncak kan sekarang bergeser menjauh. Jadi, dia landai tapi enggak nyampe-nyampe. Dan kalau Anda lihat secara grafik, itu trennya tetap naik, belum ada tren turun sama sekali. Artinya, kita belum mencapai puncak. Dan sekarang kita enggak ngerti lagi puncaknya akan jatuh di mana,” paparnya.

Jika hal ini terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan memunculkan kesempatan adanya amplitudo. Artinya, bakal terjadi fenomena gunung kembar di mana saat grafik pertama belum turun, terjadi lonjakan kasus baru. Lonjakan kasus ini terjadi di daerah yang dulu masih steril atau zona hijau yang seakan-akan tidak ada hubungannya dengan kasus kemarin. Bahayanya adalah Indonesia bakal menghadapi dua grafik kasus virus corona.

Menanggapi hal ini, Tifauzia berharap, penambahan tren kasus corona yang terjadi saat ini, mulai dari 300 per hari, kemudian 400, hingga 1.000 kasus per hari, bisa menjadi pertanda bahwa Indonesia tengah memasuki masa puncak pandemi, dengan syarat pemerintah tetap konsisten dalam melakukan pengujian tes PCR 10.000 spesimen per hari.

“Kalau menurut prediksi awal epidemiologi yang dilakukan oleh FKM UI, saya juga menyetujui, tren penurunan kasus akan dimulai pada Agustus, September, Oktober, dan terus menurun hingga Desember,” katanya.

Masuk Januari 2021, Tifauzia memprediksi masih bakal ada kasus corona baru di Indonesia. Tapi, jumlahnya tidak banyak, kemungkinan sekitar 50 hingga 100 kasus.

“Tapi perlu digarisbawahi, ancaman terbesar Indonesia adalah terjadinya amplitudo baru. Itu sangat mungkin, karena betapa luas Indonesia, variasi genetiknya luar biasa, dan kita tahu kebijakan pemerintah begitu morat-marit, tidak seragam di 34 provinsi,” ungkap Tifauzia.

Inilah mengapa, sulit untuk memprediksi kapan puncak pandemi virus corona di Indonesia, atau kapan benar-benar berakhirnya.

Editor: PARNA
Sumber: kumparan