Salah satu teka-teki besar terkait pandemi COVID-19 yang masih membuat sejumlah peneliti bertanya-tanya adalah rendahnya kasus kematian akibat COVID-19 di Asia ketimbang di Eropa Barat dan Amerika Utara.

Para peneliti memang mengakui adanya perbedaan kebijakan tes, metode perhitungan, dan pelaporan kasus. Namun bagi mereka perbedaan tingkat kematian yang terlampau signifikan masih menjadi misteri.

Sebagian negara Asia memang bereaksi lebih cepat di awal penyebaran virus corona SARS-CoV-2, penyebab COVID-19. Sejumlah negara segera menerapkan kebijakan pembatasan sosial dan menyelenggarakan tes massal dan pelacakan kontak yang masif.

Namun, para peneliti juga mempertimbangkan sejumlah faktor lain seperti perbedaan genetik dan respons sistem imun, perbedaan strain virus, faktor iklim, dan tingkat obesitas warga.

Petugas memindahkan jenazah korban virus corona di New York.

Akihiro Hisaka, peneliti dari Chiba University School of Pharmaceutical Sciences yang telah meneliti lintasan penyebaran virus di seluruh dunia, menemukan adanya perbedaan signifikan terkait angka kematian COVID-19 di sejumlah wilayah. Menurutnya, perbedaan itu dapat dijadikan landasan untuk menyelidiki lebih jauh tentang perbedaan dampak penyebaran COVID-19 di sejumlah negara.

China, tempat COVID-19 pertama kali muncul di Kota Wuhan, mencatat angka kematian kurang dari 5.000 jiwa atau 3 kematian per 1 juta penduduk. Sementara tingkat kematian per 1 juta penduduk di negara Asia lain juga tergolong rendah. Jepang memiliki 7 kematian per 1 juta penduduk, India 3 kematian per 1 juta penduduk, dan Vietnam mencatat nol kematian per 1 juta penduduk. ,

Bandingkan dengan Jerman yang mempunyai 100 kematian per 1 juta penduduk. Amerika dengan 300 kematian, serta Inggris, Italia, dan Spanyol yang mencatat lebih dari 500 kematian per 1 juta penduduk.

“Perbedaan regional harus dipertimbangkan lebih dulu sebelum menganalisa kebijakan atau faktor penentu lain yang mempengaruhi penyebaran COVID-19,” ujar Hisaka, seperti diberitakan Washington Post.

Transportasi umum kembali beroperasi di Wuhan

Asumsi umum yang masih diyakini sejauh ini adalah virus SARS-CoV-2 tetap bermutasi seperti halnya virus lain. Virus ini juga terbukti menular dengan cepat dan terhitung mematikan.

Menurut Jeffrey Shaman, ahli epidemiologi Columbia University, seluruh dunia menghadapi ancaman virus yang sama. Begitu pula dengan respons imun masyarakat. Perbedaannya, kata Shaman, terletak pada kemampuan tes massal, pelaporan kasus, dan kontrol informasi di setiap negara.

“Tapi juga terdapat perbedaan terkait jumlah warga yang mengalami hipertensi, penyakit paru kronis, dan penyakit penyerta lainnya di tiap negara,” jelasnya.

Respons pemerintah

Salah satu faktor yang berpengaruh pada tingginya angka kematian di Amerika Serikat dan Eropa Barat adalah keterlambatan respons pemerintah. Hal itu disebabkan, mereka menganggap episentrum COVID-19 yang berada di China terlalu jauh dari negara mereka.

Sebaliknya, pengalaman menghadapi wabah SARS dan MERS membuat sejumlah negara Asia mampu merespons lebih cepat ancaman virus baru ini.

Taiwan misalnya, negara ini dipuji dunia internasional atas respons cepat pemerintah mereka saat COVID-19 pertama kali muncul. Saat itu pemerintah Taiwan langsung memperketat pemeriksaan terhadap warga yang datang dari Wuhan.

Ilustrasi virus corona di Taiwan

Selain Taiwan, Korea Selatan juga mendapat pujian karena segera membangun sistem tes massal, pelacakan riwayat kontak, dan karantina pasien yang masif.

Namun, tidak semua negara Asia merespons pandemi ini dengan cepat. Para peneliti masih mencari tahu jawaban atas rendahnya tingkat kematian di Jepang, India, Pakistan, dan Filipina.

Faktor iklim dan budaya

Iklim tropis dengan suhu udara dan kelembapan tinggi mungkin berpengaruh terhadap penyebaran COVID-19 di sejumlah negara seperti Kamboja, Vietnam, dan Singapura. Beberapa studi berpendapat cuaca panas dan lembap dapat memperlambat penyebaran virus, meski tidak menghentikannya.

Namun, sejumlah negara beriklim tropis di Amerika Latin seperti Ekuador dan Brasil mencatat kasus kematian yang tinggi.

Faktor demografis juga dianggap berperan terhadap penyebaran virus dan angka kematian COVID-19. Negara-negara di Afrika dengan jumlah penduduk muda yang besar dianggap lebih mempunyai ketahanan dalam menghadapi pandemi COVID-19, ketimbang negara dengan jumlah penduduk lanjut usia yang besar seperti Italia.

corona di italia

Namun, Jepang juga memiliki persentase penduduk lanjut usia yang besar dan kasus kematian di negara itu ternyata kurang dari 1 ribu kematian. Terkait hal ini para peneliti berasumsi faktor budaya ikut berpengaruh.

Mereka menganggap kebiasaan dan kedisiplinan tinggi warga Jepang dalam menjaga kebersihan ikut berperan penting. Mereka terbiasa menggunakan masker dan menghindari bersalaman. Kebiasaan tersebut dianggap membantu menekan penyebaran virus. Selain itu, sistem kesehatan universal dan adanya kebijakan perlindungan warga lanjut usia ikut mengurangi tingkat kematian akibat COVID-19.

Perbedaan strain virus

Penelitian tim ilmuwan Cambridge University menunjukkan virus corona penyebab COVID-19 telah bermutasi setelah meninggalkan wilayah Asia Timur menuju Eropa. Menurut penelitian tersebut, strain awal virus ini kemungkinan telah beradaptasi terhadap imunitas dan lingkungan populasi di Asia Timur sehingga perlu bermutasi untuk menyebar ke wilayah lain.

Peter Forster, pakar genetik yang memimpin penelitian tersebut mengatakan, data klinis yang tersedia menjelaskan pengaruh perbedaan strain virus saat menyebar pada populasi tertentu. Namun, perlu ada penelitian lanjutan untuk menyelidiki pengaruh perbedaan strain virus terhadap tingkat kematian.

Sementara tim peneliti dari Los Alamos National Laboratory menyatakan strain virus yang lebih ganas telah menyebar di Eropa dan Amerika Serikat. Namun, Jeremy Luban, ahli virologi University of Massachusetts Medical School, mengatakan strain virus yang menyebar di Eropa dan Amerika lebih mudah menular.

Virus corona d Korea Selatan

Sistem imun dan faktor genetik

Tasuku Honjo, pemenang nobel sekaligus ahli imunologi mengatakan leluhur masyarakat Asia dan Eropa mempunyai perbedaan besar pada human leukocyte antigen (HLA), gen yang mengontrol respons sistem imun pada virus. Perbedaan genetik itu kemungkinan dapat menjelaskan tingkat kematian COVID-19 yang lebih rendah di Asia, namun penjelasan itu bukanlah satu-satunya alasan.

Sementara tim ilmuwan dari China University mengungkap adanya kemungkinan bahwa faktor genetik berpengaruh pada respons imun tubuh dalam menghadapi virus. Namun mereka mengatakan belum ada bukti yang cukup untuk mendukung asumsi tersebut.

Para ahli juga menduga perbedaan respons imun juga berperan penting. Tatsuhiko Kodama dari University of Tokyo mengatakan terdapat sebuah studi awal yang menunjukkan bahwa ketika terinfeksi COVID-19, sistem imun masyarakat Jepang bereaksi seolah tubuh sudah pernah menghadapi virus tersebut. Menurutnya, sepanjang sejarah virus corona terbukti pernah menyebar di Asia Timur

“Teka-teki rendahnya tingkat kematian di Asia Timur mungkin dapat dijelaskan dengan adanya sistem imun tersebut,” ujar Kodama, dilansir Washington Post.

virus corona di Inggris

Penelitian lain menduga adanya peran vaksin tuberkulosis Bacille Calmette-Guerin (BCG) yang dapat meningkatkan respons imun pada sel tubuh. Namun tingkat vaksinasi BCG di Jepang sama dengan Prancis, sementara tingkat kematian di dua negara itu sangat berbeda. Sejauh ini angka kematian akibat COVID-19 di Prancis mencapai 28.662 jiwa

“Kami mempunyai hipotesis bahwa vaksin BCG dan riwayat terpapar TBC dapat memproteksi infeksi COVID-19,” ujar Tsuyoshi Miyakawa, dari Fujita Health University.

Megan Murray, ahli epidemiologi Harvard Medical School menduga ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu perbedaan microbiomes, bakteri yang hidup pada perut dan berperan penting dalam respons imun.

“Manusia memiliki microbiomes yang berbeda-beda akibat perbedaan konsumsi makanan dan tempat tinggal,” ujarnya.

Tingkat obesitas

Ada satu kesamaan lain yang dimiliki negara-negara di Asia, yaitu tingkat obesitas yang lebih rendah ketimbang negara-negara Barat. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang meningkatkan risiko fatalitas COVID-19.

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tingkat obesitas di Jepang hanya sekitar 4 persen dan kurang dari 5 persen di Korea Selatan. Sementara di Amerika tingkat obesitas mencapai 36 persen, sementara di Eropa Barat mencapai 20 persen.

Namun, berbagai penelitian epidemiologi terkait COVID-19 masih belum memiliki data yang lengkap. Oleh sebab, itu kesimpulan awal yang kini disuarakan bisa berubah seiring dengan makin bertambahnya data yang tersedia.

Para peneliti juga menyatakan, pandemi ini masih berada pada fase awal, sementara butuh waktu panjang untuk dapat menjawab berbagai pertanyaan terkait sains, termasuk COVID-19.

Editor: PARNA
Sumber: kumparan