JAKARTA – Air susu dibalas dengan air tuba. Mungkin itu ungkapan yang tepat buat orang tua yang menyekolahkan anaknya hingga menjadi dokter tapi malah diputus hubungan kekeluargaannya.
Ini adalah kisah orang tua dan anaknya, dr A. Orang tua A telah membesarkan anaknya hingga lulus kuliah di sebuah sekolah swasta kenamaan dan menjadi dokter. Saat anaknya hendak menikah, orang tuanya juga memberikan sumbangan Rp 750 juta untuk pesta pernikahan di hotel bintang lima di bilangan Senayan, Jakarta.

Dokter A malah tidak mengundang orang tuanya di pernikahan yang dihelat pada 2017. Nama orang tuanya juga tidak ada di undangan pernikahan.

Puncaknya, setelah resepsi pernikahan, dr A mengumumkan di koran, yaitu ‘putusan hubungan keluarga dan segala perbuatan dan akibat hukum akan menjadi tanggung jawab masing-masing’.

“Dia memasang iklan di koran nasional dan koran Ibu Kota,” kata kuasa hukum orang tua, Albert Kuhon, saat dihubungi detikcom, Kamis (28/5/2020).

Akibat perbuatan anaknya itu, orang tuanya mengalami trauma mendalam. Rangkaian pilu yang bertubi-tubi itu membuat kedua orang tuanya depresi. Orang tua itu mengalami penderitaan psikis akibat konflik dengan anaknya. Awalnya, Kuhon enggan mengawal kasus itu. Menurutnya, hubungan orang tua tidak bisa bersilang sengketa dengan anak di meja hijau.

“Saya baru bersedia mendampingi mereka setelah munculnya iklan putus hubungan yang dipasang dokter tersebut,” tutur Kuhon.

Proses penyelidikan dan penyidikan di kepolisian berjalan panjang. Sebab, antara pelapor dan korban mempunyai hubungan ayah-ibu dan anak. Segala cara mediasi mengalami jalan buntu hingga akhirnya perkara sampai meja hakim.

Akhirnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Maret 2020 menyatakan dr A bersalah melakukan kekerasan psikis dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat 1 jo Pasal 5 huruf b UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). PN Jaksel menjatuhkan hukuman percobaan berupa 3 bulan penjara yang tidak perlu dijalani apabila selama 6 bulan tidak melakukan perbuatan pidana.

Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada 20 Mei 2020 oleh majelis tinggi yang diketuai oleh Achmad Yusak dengan anggota Sirande Palayulan dan Haryono.

Editor: PARNA
Sumber: detiknews