JAKARTA – Pandemi virus corona memaksa sejumlah ruang usaha hiatus tanpa kepastian. Pun dengan perusahaan penyedia kebutuhan event milik Diana Kartika Dewi. Saat bulan puasa seperti ini, biasanya banyak produk makanan maupun minuman ‘bergerilya’ promosi dan mengadakan event. Namun gara-gara corona, semua urung terlaksana.

“Salah satu merk minuman nih mau promosi di jalur Pantura. Padahal mereka sudah minta kami yang pegang, sudah sampai budgeting, belum PO ya, masih verbal saja. Ya sudah hilang,” kata Diana pada CNNIndonesia.com, Senin (27/4).

Belum lagi, biasanya bulan-bulan sekarang permintaan gelaran acara atau promosi untuk Agustus-September juga sudah masuk. Tak hanya perlengkapan acara, tak jarang Diana pun diminta jadi eksekutor alias event organizer (EO). Namun hingga kini tak ada satu pun permintaan menyusul perpanjangan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Acara-acara yang bersifat mengundang banyak orang pun akhirnya dibatalkan. Perusahaan dan agensi digital besar pun mengalihkan cara ‘promosi’ dengan cara online.

“Tapi perusahaan ‘below the line’ seperti kami bisa apa?”

Diana dan sang suami, Maksima Parantauan, sama-sama memikirkan ketersediaan dana dan kelangsungan usaha mereka itu.

“Ada nih yang bikin konser di rumah aja, branding di Youtube. Kok enggak pakai set? Enggak ada budget, semua dari rumah. Profesi tukang booth dipinggirkan dulu, enggak tahu harus gimana, ya banting setir, jualan,” ujarnya.

Diana sadar, tak mungkin menggantungkan nasib dan kelanjutan hidupnya pada bisnis utamanya itu, setidaknya untuk saat ini. Corona bukan hanya menyebabkan penyakit tapi juga menyebabkan banyak orang, bukan hanya dirinya, sulit untuk bekerja seperti biasa dan mendapatkan penghasilan seperti biasa.

Alih-alih meratapi, dia tahu putar otak untuk mendapatkan penghasilan lain. Dia banting setir dari perusahaan EO menjadi tukang jualan.

Awalnya, Diana dan Maksima berjualan aneka sayuran dan daging-dagingan seperti daging sapi, ayam, dan kambing. Namun itu tak bertahan lama. Mereka pun beralih ke bisnis kuliner. Karena sang suami suka makan siomay, mereka pun berpikir untuk menjual siomay.

Rupanya, siomay ini malah mendatangkan lebih banyak cuan buat mereka daripada sayur dan daging.

Tanpa akun Instagram sendiri, tanpa berjualan di e-commerce atau kerjasama dengan ojek daring, tak disangka siomay Diana laku keras. Padahal promosinya hanya lewat Whatsapp dan akun Instagram pribadi plus promosi di grup-grup Whatsapp alumni.

Kesibukan barunya di masa pandemi corona ini pun berubah menjadi bos siomay. Siomay-siomay pesanan ini dibuat saat sahur jelang subuh. Setelah jadi, siomay mulai dikirimkan mulai pukul 10.00 atau pukul 11.00 jika pesanan cukup banyak. Pemesanan dibuka di hari sebelumnya sehingga bahan baku dasar yaitu ikan tengiri bisa menyesuaikan pesanan.

“Seneng, pelanggan memberikan testimoni, katanya enak. Senang ya ternyata. Kalau sekarang ini uang dateng tap hari, seneng loh. Ih ada duit,” ucap Diana disusul tawa.

“Dulu kan uang masuk berdasarkan invoice.. misal, Kamis nih ada yang cair. Rabu, ini cair. Kadang ada yang belum cair, (menghubungi klien) eh gimana, sampai di mana invoice-nya? Gitu. Walau memang yang sekarang secara presentase jauh dari yang dulu.”

Tanggalkan gengsi

Rilis sejak 16 April 2020 lalu, Diana mampu menjual 500-1.000 buah siomay. Siomay ia jual per paket berisi 25 buah yang dibanderol dengan harga Rp50ribu. Bisa dihitung berapa pundi yang mampu ia kumpulkan. Prinsipnya, penghasilan dari siomay mampu mencukupi kebutuhan harian tanpa mengganggu tabungan.

Apalagi dia pun masih harus menggaji karyawan tetap dan membayar THR meski tidak bisa penuh.

Sulit dibayangkan, awalnya berpakaian rapi dan bersepatu kini Diana ‘hanya’ berpakaian biasa dan mengenakan sandal jepit. Gengsi? Istilah ini tak berlaku buatnya.

“Saya buang rasa gengsi, pasti banyak orang julid, mereka bersorak. Saya dan suami cuma ketawa. Daripada saya bengong, mengaduh, mengeluh di media sosial, menyalahkan pihak lain, menyalahkan keadaan, lebih baik melakukan sesuatu,” katanya.

Ada dua nilai perusahaan yang tetap ia pegang meski kini ia berjualan siomay yakni pelayanan (service) dan cinta akan pekerjaan.

Kemudian, dia pun memperhatikan kualitas barang dan pengemasan hingga ke tangan pelanggan. Menurutnya, ini menunjukkan profesionalitas sebagai penjual. Bukan berarti jualan dalam kondisi kepepet dan jadi asal-asalan.

“Yang pada mau usaha, saya sarannya memberikan yang terbaik sama customer. Enggak usah malu, gengsi, enggak bikin rusuh, enggak maksa, dan terutama tetap happy,” imbuhnya.

“Saya bilang I love you sama kerjaan sendiri, sama dagangan. Elu hari ini bikin gue seneng, no complain dari customer. Bilang thank you ke diri sendiri.”

Seperti apa rencana ke depan?

Masih ada harapan untuk kembali menekuni bisnis penyedia perlengkapan event dan EO seperti dulu. Namun dari diskusi bersama kawan-kawan pengusaha lain, Diana menuturkan usaha seperti ini bisa ‘kick back’ kira-kira di 2024. Waktu yang sangat panjang tetapi buat Diana ini tidak aneh. Dia teringat krisis moneter di 1998. Saat itu Indonesia perlu waktu 5 tahun untuk pulih. Sementara ini jadi krisis global.

Begitu kondisi normal, Diana dan suami malah berencana membesarkan usaha siomaynya. Mereka berpikir kondisi normal ke depan belum tentu benar-benar 100 persen normal seperti sedia kala. Harapannya, bisnis EO dan siomay tetap berjalan.

“Suami kan orang manajemen, dia melihat saat krisis, memulai bisnis justru lebih bagus. Peluang itu harus kita yang ciptakan,” tutupnya.

Editor: PARNA
Sumber: CNN Indonesia