JAKARTA – Renata, Novaeny dan Don adalah para perokok yang sudah lebih lima tahun jadi ‘ahli hisap’. Gambar mengerikan pada bungkus rokok bukan perkara yang perlu ditakuti bagi mereka.

“Awal-awalnya sih ngefek, tapi belakangan ini yasudah sih mau gimana lagi, orang pengen ngerokok, yasudah beli saja. Nggak mau ngebayangin [dampak buruknya sih] karena ntar ngerokoknya jadi nggak enak dong,” aku Don kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/5).

Pria usia 30an ini sudah 10 tahun merokok. Saban harinya ia bisa menghabiskan setengah bungkus rokok. Senada diakui Novaeny. Ia bilang, mulanya gambar peringatan kesehatan itu mengusiknya. Tapi lama-lama sirna juga.

“Sebenarnya awal-awal [lihat] suka parno, tapi lama-kelamaan enggak. Karena ada salah satu gambar yang mirip sama temenku,” cerita Nova.

Sementara Renata sama sekali tak menggubris gambar-gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok.

“Aku nggak takut sih [sama gambar di bungkus rokok], biasa aja. Nggak ngaruh, tetep beli rokok kayak biasa aja ada gambar atau tidak,” ungkap perempuan yang sudah delapan tahunan merokok tersebut.

Di tengah wabah kini, kebiasaan merokok dikaitkan dengan potensi gejala infeksi virus corona (Covid-19) yang berisiko bakal lebih parah. Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) menilai masa pandemi ini bisa menjadi titik tolak untuk semakin menggiatkan pembatasan kebiasaan merokok.

Mengingat, menurut Ketua TBCS-IAKMI Sumarjati Arjoso, pandemi berkaitan dengan perilaku merokok. Mengutip penelitian dari China ia menjabarkan bahwa perokok memiliki risiko terinfeksi 14 kali lebih tinggi dan mengalami dampak lebih buruk dibanding mereka yang bukan perokok.

“Perokok memiliki risiko gejala sebanyak 2,4 kali lebih parah jika terinfeksi Covid-19 dibandingkan dengan bukan perokok. Ini menunjukkan bahwa konsumsi rokok diasosiasikan dengan prognosa Covid-19 yang buruk,” terang alumnus fakultas kedokteran Universitas Indonesia dan Fakultas Kesehatan Masyarakat tersebut dalam diskusi secara daring, Kamis (14/5).

“Karena perokok yang terpapar Covid-19 itu memiliki nikotin di saluran pernapasannya dan itu merupakan reseptor yang sangat disukai Covid-19, waktu itu dijelaskan dokter ahli paru,” tambah dia lagi.

Infografis Penyakit Undangan dari MerokokFoto: Astari Kusumawardhani

Sehingga Sumarjati menambahkan, perokok yang terpapar Covid-19 akan memiliki risiko penyakit lebih berat. Dengan begitu, mengutip jurnal kesehatan di China, ia mengatakan bahwa pasien tersebut perlu perawatan di ICU, penggunaan ventilator sampai risiko kematian.

“Risiko itu memperparah risiko yang sebelumnya sudah ada pada konsumsi rokok. Oleh karena itu penghentian merokok merupakan tindakan preventif yang relevan untuk melawan Covid-19,” tutur dia lagi.

Itu sebab organisasinya merekomendasikan penguatan kebijakan mengenai ukuran peringatan kesehatan bergambar menjadi 90 persen, serta memperbesar ukuran tulisan. Selain itu ia juga meminta pencantuman larangan penjualan rokok ke anak usia 18 tahun ke bawah, penghapusan informasi soal kadar tar, nikotin juga zat adiktif lainnya, dan meminta agar pita cukai tak boleh menutupi peringatan kesehatan bergambar.

Survei yang dilakukan TBCS–IAKMI menunjukkan gambar peringatan kesehatan itu dianggap efektif bila ukurannya minimal 75 persen. “Ini yang seusai disebut dalam Permenkes tahun 2017, minimal 75 persen jadi kalau 90 persen tentu lebih baik,” ucap Sumarjati lagi.

Di Indonesia sendiri, Picture Health Warning (PHW) atau peringatan kesehatan bergambar berada di urutan 117 dunia. Peringkat ini menurut Sumarjati, paling rendah se-Asia Tenggara di bawah persentase PHW dari Timor Leste, Thailand, Myanmar, Brunei, Laos , Kamboja, Filipina, Singapura dan Vietnam.

Namun begitu, apakah perluasan gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok ini efektif menekan kebiasaan merokok?

Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia melakukan studi terhadap 333 remaja dan 333 orang dewasa. Mereka terdiri atas kelompok perokok dan bukan perokok.

Tim peneliti melakukan random assignment ke tiga jenis ukuran PHW antara lain 40 persen, 75 persen dan 90 persen. Setiap kelompok diperlihatkan lima jenis PHW yang berlaku.

Hasilnya, PHW dengan ukuran 75 persen lebih efektif memengaruhi reaksi negatif dibanding yang 40 persen. Kemudian PHW dengan ukuran 40 persen selalu dinilai lebih rendah, jadi ini harus diganti.

“PHW ini tidak efektif untuk menghentikan niat merokok. Karena itu tadi, bahwa ini untuk denormalisasi, tapi untuk membuat berhenti merokok, itu tidak,” terang Ketua Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, Rita Damayanti.

“Kemudian terlepas dari pengaruh ukuran, kita lihat bahwa ada pengaruh signifikan lebih rendah terhadap mereka yang jenis kelamin pria, perokok dan yang berpendidikan SMA itu lebih tidak takut terhadap peringatan bergambar,” kata dia lagi.

Karena itu Rita pun merekomendasikan untuk meningkatkan ukuran PHW hingga ke 75 persen demi meningkatkan efektifitas peringatan. Sebab ukuran tersebut dinilai lebih efektif memunculkan respons negatif dibandingkan ukuran 40 persen.

Tapi lantas, apakah perluasan PHW efektif menghentikan niat merokok di masa pandemi Covid-19?

PHW dengan ukuran tertentu memang memengaruhi reaksi afektif dan kognisi seseorang, namun tak lantas berdampak pada niat atau kebiasaan merokok.

Efektivitas menghentikan niat merokok tersebut bergantung sebab ada beberapa jenis perokok. Misalnya, perokok adiktif, perokok sosial ataupun perokok pemula. Rita menilai, untuk perokok adiktif lebih sulit berhenti karena perlu bantuan.

“Tapi untuk perokok sosial tergantung lingkungannya, ini yang bisa berhenti. Kadang-kadang mereka hanya merokok kalau berkumpul, dia belum terlalu adiksi. Kemudian perokok pemula ini juga agak sulit, karena da peer pressure,” jelas Rita.

Studi itu sejalan dengan kondisi Don, Novaeny, juga Renata. Ketiganya mengaku tak bakal berhenti merokok hanya karena gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok yang dibikin lebih luas atau bahkan lebih ngeri.

“Aku tetap beli sebenarnya, karena memang sudah jadi perokok,” kata Novaeny.

Sementara Don belum tahu pasti, tapi menurutnya boleh saja hal tersebut coba diterapkan. “Belum tahu efeknya kan belum sekarang, ya dicoba aja,” imbuh dia.

Sedangkan Renata mengaku, sesungguhnya gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok bukan perkara besar. Bahkan tak berpengaruh baginya.

“Aku itu bungkus rokok sama sekali nggak ngaruh. Yang ngefek mah, [kalau dinaikin] harganya,” kata dia diikuti tawa.

Untuk menyiasati pengabaian tersebut, Kementerian Kesehatan menargetkan pencapaian plain packaging (kemasan polos) rokok pada 2021. Kemasan rokok yang semula memuat gambar mengerikan peringatan kesehatan sebesar 40 persen akan menjadi 90 persen.

Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes, Rizkiyana Sukandhi Putra mengakui peningkatan PHW bukan proses yang sederhana. Tapi ia juga ingin menekankan, pengendalian konsumsi rokok tak semata bicara peningkatan besaran gambar peringatan kesehatan melainkan juga upaya lain.

“Kalau hanya menghimbau saja tidak cukup, jadi harus ada regulasinya, harus ada dorongan baik dari kultural maupun segi agama, dari sisi kebiasaan perilaku dan kebiasaan di masyarakat bagaimana individu berubah perilakunya,” tutur dia dalam diskusi daring yang diadakan TCSC-IAKMI.

Rizki mengatakan, peringatan kesehatan melalui gambar pada bungkus rokok memang upaya yang murah dan efektif menurunkan prevalensi, namun hanya bagi perokok pemula. Yang juga penting, adalah perlindungan kebijakan kesehatan masyarakat dari komersialisasi dan kepentingan lain industri rokok.

Upaya lain yang masuk dalam daftar pemerintah di antaranya pengaturan larangan iklan atau sponsorship terselubung yang sebetulnya berisi promosi produsen rokok–baik terkait kegiatan olahraga atau seni budaya, penaikan harga produksi rokok sampai tidak bisa dijangkau oleh perokok pemula, dan pengaturan pengawasan soal pencantuman produk isi tembakau.

Pemerintah juga berencana memanfaatkan momen pandemi Covid-19 untuk menggencarkan kampanye edukasi kesehatan mengingat perokok yang disebut lebih berisiko terinfeksi.

“Covid itu menginfeksi lewat virus dan saluran pernapasan, sehingga siapapun yang merokok itu akan memperberat risiko infeksi terjadinya Covid. Inilah yang perlu kita manfaatkan terkait Covid-19. Lalu nomor tujuh, program berhenti merokok … Yang terakhir nomor sembilan, perluasan kawasan tanpa rokok beserta penegakan hukum. Ada tulisan kawasan tanpa rokok tapi tidak tegas aturan itu jadi tetap saja masih ada orang yang merokok,” pungkas Rizki.

Editor: PARNA

Sumber: CNN Indonesia