Kapan vaksin virus corona SARS-CoV-2 ditemukan?

Jawaban paling optimistis adalah 12 hingga 18 bulan ke depan. Itu pun dengan sejumlah catatan. Sementara itu, Direktur Gawat Darurat WHO Michael Ryan menyampaikan bahwa, “Virus (corona ini) mungkin tidak akan pernah hilang.”

Ucapan tersebut bukan untuk menakut-nakuti. Menurutnya, penting untuk mengemukakan secara jujur kemungkinan wabah coronavirus COVID-19 menjadi endemik baru di tengah masyarakat seperti halnya virus HIV.

Endemik merupakan kondisi ketika suatu wabah penyakit selalu ada di daerah tertentu dan tak pernah hilang, namun dalam intensitas rendah. Misalnya, malaria yang merupakan penyakit endemik di Indonesia.

“Virus HIV tidak pernah hilang, tapi kita memiliki ketentuan-ketentuan tertentu dalam menghadapi virus tersebut,” imbuh Ryan dalan siaran persnya, Kamis (14/5).

Masalahnya, penularan virus corona ini tak sesulit HIV yang baru bisa menular melalui hubungan seks, penggunaan jarum suntik, transfusi darah, atau selama kehamilan hingga menyusui (penularan dari ibu ke anak).

Virus corona yang bermula di Wuhan, China, pada akhir 2019 menular melalui droplets atau cairan bersin dan batuk, serta kontak langsung—menyentuh benda yang ditempeli virus tersebut, lalu memegang mulut/hidung/mata sebelum mencuci tangan.

Jadi, penularan SARS-CoV-2 jelas lebih mudah karena melibatkan gerak yang biasa dilakukan atau terjadi setiap harinya. Pun begitu, wabah COVID-19 memang tak semematikan HIV atau virus-virus lain seperti ebola, MERS, dan SARS.

WHO - Tedros Adhanom Ghebreyesus

Dengan kondisi tersebut, WHO justru meminta seluruh kepala negara untuk tetap awas dalam mengontrol penyebaran virus ini alih-alih berdamai. “Kami tetap merekomendasikan setiap negara berada dalam level waspada tertinggi sebisa mungkin,” ucap Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Ia tak mau pelonggaran aturan pembatasan jarak dan aktivitas sosial malah melahirkan gelombang penyebaran wabah yang lebih besar dan tak terkontrol. Terlebih setelah melihat lonjakan kasus yang kembali terjadi di China, Korea Selatan, dan Jerman.

Per 16 Mei 2020, COVID-19 telah menginfeksi 4,4 juta warga di seluruh dunia dan menewaskan 302 ribu orang di antaranya. Di Indonesia, jumlah kasus positif COVID-19 mencapai 17.025 warga dan menyebabkan 1.089 kematian. Angka tersebut di luar persoalan jumlah tes yang masih terbilang rendah dan angka kematian ODP dan PDP yang masih belum dicatat sebagai kematian akibat corona meski telah dianjurkan oleh WHO.

Oleh karenanya, sembari tetap melakukan jaga jarak sebisa mungkin, menggunakan masker, dan rajin mencuci tangan, harapan ada di pundak para ilmuwan yang tengah mengembangkan vaksin.

8 kandidat vaksin yang sedang diuji klinis

Hingga 15 Mei 2020, ada sekitar 118 perusahaan atau lembaga yang terdaftar di WHO tengah mengembangkan vaksin COVID-19. Delapan di antaranya masuk tahap uji klinis fase 1 dan fase 2.

Salah satu yang cukup potensial adalah vaksin buatan perusahaan bioteknologi asal Amerika Serikat, Moderna Inc., yang bekerja sama dengan US National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID). Kandidat vaksin tersebut mereka buat hanya dalam kurun waktu 63 hari.

“Sebelumnya, tidak pernah terjadi (pembuatan vaksin) secepat ini,” ucap Direktur NIAID Anthony Fauci seperti dikutip dari Guardian. Vaksin biasanya baru bisa ditemukan 10-20 tahun kemudian seperti vaksin ebola yang baru ditemukan 16 tahun setelah kemunculan penyakitnya.

Kecepatan tersebut kini dimungkinkan dengan perkembangan teknologi yang mampu mengurai rangkaian genetik virus dengan cepat. Selain itu, pengalaman para ilmuwan dalam studi virus corona terkait SARS dan MERS juga membuat mereka lebih cepat menguji kandidat vaksin bernama mRNA-1273.

Vaksin yang mereka buat tak memakai cara lama—melemahkan virus untuk dimodifikasi sehingga mendorong pembentukan kekebalan tubuh, melainkan menggunakan potongan salinan kode genetik RNA (Asam ribonukleat) virus untuk menghasilkan benih antibodi.

Setelah kandidat vaksi itu tampak cukup menjanjikan usai diuji coba kepada hewan, kini mereka tengah melakukan pengujian kepada manusia sejak 16 Maret. Para relawan berusia 18-55 tahun akan diberi vaksin dengan dosis dan rentang waktu berbeda-beda, kemudian dipantau selama 12 bulan. Uji coba ini bertujuan untuk melihat keamanan dan kemampuan vaksin dalam mendorong imun tubuh menangkal virus.

Setelah uji coba klinis pada manusia dan populasi tertentu, CEO Moderna Stephane Bancel berharap vaksin tersebut bisa mulai diproduksi secepat-cepatnya pada bulan Juli. Namun ketidakpastian masih di depan mata.

Meskipun tahap awal bisa terlewati dengan begitu cepat, dua tahap berikutnya cukup berisiko tinggi, yakni uji klinis dan produksi massal. Belum diketahui dengan pasti seperti apa hasil uji klinis mendatang.

COVID Section - Ilustrasi positif terkena virus corona

Kandidat vaksin kedua yang juga berpotensi datang dari Inovio Pharmaceutical yang didanai oleh Bill dan Melinda Gates Foundation. Vaksin bernama INO-4800 DNA itu juga tengah masuk tahap uji coba kepada manusia yang dimulai pada 7 April.

Sementara Moderna menggunakan RNA, Inovio memanfaatkan DNA (Asam deoksiribonukleat, biomolekul yang menyimpan instruksi genetik setiap organisme). Yang satu ini bekerja dengan cara menyuntikkan plasmid (struktur genetis kecil) yang telah direkayasa ke pasien sehingga mendorong sel-sel tubuh menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi tertentu.

Cara kerja Inovio ini juga berdasar studi sebelumnya. Perusahaan tersebut telah menyelesaikan uji klinis fase 1 menggunakan jalan vaksin berbasis DNA untuk membuat kandidat vaksin MERS.

Meski telah menunjukkan hasil yang menjanjikan, vaksin berbasis DNA baru disetujui penggunaannya terhadap hewan. Ia belum disetujui untuk digunakan kepada manusia.

“Memang benar belum ada vaksin berbasis RNA atau DNA yang telah disetujui (untuk digunakan pada manusia) dan dipasarkan saat ini. Tapi saya rasa itu hanya persoalan waktu,” ucap CEO Inovio, Kim Joseph.

Inovio dan Moderna memang menggunakan teknologi baru yang mencakup modifikasi dan manipulasi materi genetis—cara baru yang selama ini belum pernah teruji dalam sejarah. Serupa dengan Inovio, Moderna juga belum memiliki lisensi untuk bisa memproduksi massal vaksin tipe mRNA.

Kandidat vaksin lain yang menempuh jalur konvensional dan memasuki tahap uji klinis tengah dikembangkan oleh China. Pertama, kandidat vaksin bernama AD5-nCoV yang dibuat oleh perusahaan bioteknologi CanSino Biologics bekerja sama dengan Beijing Institute of Biotechnology. Ia menggunakan adenovirus, virus penyebab flu, yang membawa gen untuk protein S (spike) dari permukaan virus corona demi memancing respons kekebalan tubuh.

Calon berikutnya berasal dari Wuhan Institute of Biological Products dan Sinopharm yang membuat vaksin dengan memanfaatkan virus yang telah dinonaktifkan. Tipe ini dibuat dengan memproduksi partikel virus di reaktor kemudian memurnikannya sehingga tak lagi memiliki kemampuan untuk menyebabkan penyakit. Cara ini merupakan jalan yang paling lazim dilakukan. Ia telah berlisensi untuk diproduksi massal jika berhasil.

Kandidat vaksin selanjutnya datang dari Universitas Oxford, Inggris, dengan nama Vacuna ChAdOx1. Uji klinis calon vaksin ini pada manusia dilakukan sejak tanggal 23 April. Ini jenis vaksin gabungan, hampir mirip dengan calon vaksin AD5-nCoV yang dibuat CanSino.

Hanya saja, tim dari Oxford ini menggunakan adenovirus dari simpanse yang telah dilemahkan dan kemudian dimodifikasi, sehingga di permukaan memperlihatkan protein yang sama dengan virus corona demi memancing respons imun tubuh. Cara ini juga digunakan ketika mengembangkan vaksin untuk virus MERS.

Segala kemungkinan masih terbuka. Apakah kesemuanya itu akan berhasil atau justru gagal? Apakah akan ada efek samping tertentu? Apakah vaksin tersebut bisa melindungi tubuh dari virus corona selamanya atau hanya sementara waktu? Apakah vaksin akan bekerja dengan baik di semua kelompok usia, gender, ras, dan level kontaminasi atau hanya efektif pada kelompok tertentu?

Ketika belum ada kepastian apa pun atas setumpuk pertanyaan itu, awal Mei tersiar kabar kemunculan mutasi virus corona SARS-CoV-2 yang diduga lebih berbahaya. Informasi tersebut muncul pada makalah berjudul Spike mutation pipeline reveals the emergence of a more transmissible form of SARS-CoV-2 (Lonjakan kasus menunjukkan munculnya bentuk SARS-CoV-2 yang lebih menular) yang ditulis oleh tim dari Los Alamos National Laboratory.

Meski belum pernah ditinjau ulang dan diuji ilmiah, hal tersebut cukup membuat geger. “Mengatakan adanya bahaya dari bentuk virus (corona) lain yang lebih menular tanpa pernah melakukan tes ilmiah membuat saya tidak nyaman sebagai sesama ilmuwan,” ucap Lisa Gralinski dari Universitas North Carolina, AS.

Walau begitu, mutasi virus dinilai sebagai hal yang wajar dan bagian dari siklus hidup virus. Ketika virus masuk ke tubuh seseorang, dia memang akan mereplikasi atau memperbanyak diri. Hanya, sebut saja virus tersebut mungkin melakukan sedikit typo ketika menyalin diri. Dan kebanyakan mutasi sebenarnya tak berbahaya, seperti halnya typo dalam penulisan yang kerap tak mengubah arti sehingga masih bisa dipahami, meski tentu ada juga yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Meski belum teruji ilmiah, beragam observasi terhadap SARS-CoV-2 bisa menjadi masukan berharga, sehingga para ilmuwan bisa merancang vaksin yang merupakan senjata terbaik untuk melawan wabah COVID-19. Dan hingga vaksin ditemukan, tugas kitalah untuk tetap awas dan waspada, bukan berdamai apa lagi abai terhadap virus corona tersebut.

Editor: PARNA
Sumber: kumparan