JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil menolak rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme untuk dibahas lebih lanjut di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Aturan tersebut dinilai dapat mengancam Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara, TNI tak tunduk kepada peradilan umum meski bergerak di ranah penegakan hukum terorisme.

Koalisi itu terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat seperti KontraS, Imparsial, Elsam, YLBHI, Amnesti Internasional Indonesia (AII), Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Pers, LBH Masyarakat, dan lainnya.

“Mengancam karena memberikan mandat yang sangat luas dan berlebihan kepada TNI. Apalagi, pengaturan tersebut tidak diikuti mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum,” kata Koalisi Masyarakat Sipil melalui keterangan resmi, Sabtu (9/5).

Salah satu yang disoroti kelompok ini adalah ketiadaan ketundukan pada sistem peradilan umum oleh TNI lantaran terdapat sistem peradilan tersendiri bagi anggotanya selama melakukan operasi.

Hal itu menjadi berbahaya lantaran pertanggungjawaban akan kesalahan dalam operasi yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara akan menjadi tidak jelas.

Selain itu, dari segi pemberian kewenangan kepada militer untuk melakukan penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri pun dianggap tidak sejalan dengan hakikat pembentukannya sebagai alat pertahanan negara.

“Yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakan hukum. Sehingga adalah salah dan keliru jika militer diberi kewenangan penindakan secara langsung dan mandiri di dalam negeri,” lanjutnya.

Infografis Kasus Terorisme Sepanjang 2019
Sejatinya, kata koalisi ini, militer tidak perlu memiliki kewenangan penangkalan dan penindakan terorisme lantaran sudah diatur dalam criminal justice system, yang mana penindakan tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti kepolisian.

Namun, pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme di dalam negeri dalam dilakukan hanya sebatas pemberian bantuan kepada aparat penegak hukum yang berwajib apabila terdapat eskalasi teror yang tinggi.

Sehingga, secara prinsip penanganan tersebut tidak dapat idlakukan secara mandiri sebagaimana dijelaskan dalam rancangan Perpres itu.

“Dan pelibatannya harus melalui keputusan politik negara,” kata Koalisi Masyarakat Sipil.

Salah satu bahaya penindakan secara mandiri oleh militer adalah tumpang tindih tugas yang akan terjadi antar dua institusi negara karena memiliki kewenangan yang serupa.

Selain itu, rancangan Perpres itu pun diniai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Rancangan perpres ini, pengerahan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI,” tulis Koalisi dalam keterangannya.

Oleh sebab itu, kelompok ini pun meminta agar seluruh fraksi partai politik di DPR untuk menolak Rancangan Perpres tersebut karena memiliki masalah serius dalam substansi aturan yang tertera.

Selain itu, mereka pun meminta agar Presiden Jokowi tidak mendandatangani rancangan Perpres tersebut dengan sejumlah alasan yang telah disebutkan tersebut, dengan salah satu fokusnya adalah HAM di Indonesia.

Perpres Pelibatan TNI Mengatasi Terorisme merupakan tindak lanjut dari UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satunya, dalam pasal 43I.

“Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi Terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang,” tertulis dalam ayat (1).

Ayat (3) menyebutkan bahwa ketentuan soal pelibatan TNI ini diatur dalam Perpres

Editor: PARNA
Sumber: CNN Indonesia