JAKARTA – Padahal hari itu cerah, tapi langkah Boy (bukan nama sebenarnya) sangat lunglai. Biasanya, sepulang sekolah ia meminta izin, bermain bersama rekannya di lapangan dekat masjid. Tapi tidak hari itu. “Tidak biasanya Boy merajuk tanpa sebab,” ujar kakak keempat Boy kepada detikcom melalui sambungan telepon awal Maret lalu.
Saat ditanyai, Boy tak kunjung menjawab. Raut mukanya menunjukkan amarah dan mimik tak suka. Seperti biasa, kakak-kakaknya menganggap Boy hanya berlaku seperti layaknya anak bungsu, sedang manja. Tapi, ada yang aneh. Ia tak mau makan padahal yang dihidangkan adalah lauk favoritnya.

Lama terdiam, akhirnya Boy buka suara. “Tadi di sekolah ada yang main buka-buka celana. Saya tidak ikut main tapi celanaku juga diturunkan di depan sekolah,” kata Boy, bocah yang masih duduk di bangku kelas 6 SD itu kepada kakak pertamanya. “Langsung saya pukul, tapi mereka ketawa,” lanjutnya sambil menahan emosi, kala kakak pertamanya menanyakan apa yang ia lakukan setelahnya.

Bagi kebanyakan remaja, bercandaan spontan seperti itu banyak ditemukan. Sayangnya mereka tidak paham bahwa hal tersebut sama sekali tak bisa dianggap sebagai lelucon. Boy mengatakan bahwa banyak temannya menganggap permainan tersebut biasa dikalangan teman sekelasnya dan tanpa sadar, membentuk kebiasaan.

Psikiater anak dan remaja dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr Fransiska Kaligis, SpKJ mengatakan pengalaman Boy adalah bentuk kekerasan seksual dalam kategori seksual. “Ia mengalami perasaan tertekan karena dipaksa, itu sudah termasuk pelecehan karena dia merasa dia sebagai pihak yang ‘inferior’ jadi merasa tertekan dan dari yang meminta dan ada tekanan,” ujarnya.

Kekerasan seksual terhadap remaja terkadang teman sebaya atau orang yang bahkan dikenal baik oleh korban. Catatan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2017 memperlihatkan dari 2,552 kasus kekerasan seksual di ranah publik, 1.106 di antaranya dilakukan oleh teman dan 863 lainnya oleh tetangga.

Pelaku bisa saja kakak kelasnya, atau abang penjual warung dekat rumahnya. Terlebih pada remaja laki-laki, hal-hal yang menyerempet pelecehan seksual kerap dianggap candaan lalu sehingga tidak mengambil aksi tegas terhadapnya.

Seperti Boy, ia baru berusia 11 tahun yang paham ‘buka celana’ bukanlah hal lazim dilakukan atau tak bisa disebut bercandaan. Namun tak ada yang bisa ia lakukan selain mengadu kepada guru di sekolah tentang apa yang ia alami. Beruntung, wali kelasnya mengambil langkah tegas atas kejadian tersebut.

“Yang kita maksud pelecehan itu ada tujuannya, memang untuk melecehkan, atau tujuan tertentu untuk kepentingan (kepuasan seksual) pelakunya. Jadi kalau kondisinya temannya meledek buka celana apakah itu pelecehan atau nggak, harus lihat konteksnya dan tujuannya mereka,” jelas dr Fransiska.

Fenomena “Gunung Es”
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat peningkatan permohonan perlindungan kekerasan seksual pada anak. Hampir tiap pekan ada empat kasus kekerasan seksual yang mereka tangani dan diyakini. Jumlah atau fakta di lapangan jauh lebih besar dari data yang dihimpun LPSK.

Pada beberapa kasus, korban tidak berani melaporkan ke kepolisian atau mengadu ke keluarganya karena takut dianggap membuka aib, atau khawatir mendapat kecaman dari lingkungan sosialnya. Belum lagi, jika pada remaja, pelecehan seksual dianggap sebagai lelucon, sehingga tak banyak yang mau melaporkan. “Kami khawatirkan pengaduan sifatnya seperti ‘gunung es’. Pelaku orang dikenal seperti teman, keluarga, bahkan keluarga kandung,” tutur Sitti Hikmawaty, Komisioner bidang Kesehatan dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), beberapa waktu lalu.

Seringkali, laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual terlupakan, padahal efek psikologis mereka rasakan sama seperti yang dialami korban perempuan. Korban pelecehan seksual tetap akan merasakan trauma psikologis. Penelitian yang dilakukan Dr Laura Anderson dari Buffalo’s School of Nursing mengatakan korban remaja laki-laki lebih sering mengalami depresi. Sekitar 33,2 persen remaja laki-laki yang pernah menjadi korban kekerasan seksual sudah mencoba bunuh diri.

Menangani anak laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual juga tak mudah. Kondisi mereka yang jauh lebih tertutup dan lebih sering melamun menjadi tantangan tersendiri untuk pemulihannya. “Pengalaman kami, menghadapi anak memang penuh tantangan. Apalagi dengan kondisi psikologis klien membuat kami lebih berhati-hati. Untuk membuat anak menceritakan perasaannya saja bisa memakan waktu yang agak lama, ada yang berminggu-minggu,” tutur Haryo Widodo, salah satu relawan pendamping bagi korban kekerasan seksual dari Aliansi Laki-laki Baru

Lepas dari Jerat Trauma dan Stigma
Ekspektasi maskulinitas dan gender secara tidak langsung mengajarkan anak dan remaja laki-laki bahwa mereka tidak bisa jadi korban. Mereka dituntut untuk selalu kompetitif, ulet, dan mandiri. Akibatnya anak laki-laki tidak mengenali tanda saat kekerasan atau menjadi pelecehan seksual terjadi.

Selain itu banyak dari mereka yang tidak terbuka menyampaikan peristiwa memilukan yang dialami. Karena perasaan mereka tertekan dengan anggapan ketika mengaku menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual berarti menyatakan mereka ‘bukan laki-laki’. Meski faktanya Statistik Gender Tematik yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) pada tahun 2017 menunjukkan 1 dari 2 remaja berumur 18-24 tahun mengalami minimal satu jenis kekerasan seksual, fisik, atau emosional sebelum umur 18 tahun.

Tentu saja efek sampingnya sangat buruk. Anak dan remaja laki-laki yang menjadi korban penganiayaan atau kekerasan seksual bisa tumbuh sebagai pria yang memiliki kecemasan, depresi, dan tidak memiliki kemampuan mempertahankan hubungan sosial.

Kabar baiknya, trauma yang dialami bisa disembuhkan. dr Fransiska mengatakan korban dapat disembuhkan dengan psikoterapi melalui konseling sehingga trauma atau masalah psikologis yang dialami bisa dikelola dan ditangani. Kedua ketika muncul masalah kecemasan yang berlebihan, misalnya sampai ada gangguan mood, gangguan tidur, dapat diterapi dengan pengobatan. “Tapi tidak semua kasus perlu mendapat obat, hanya kasus-kasus yang misalnya gangguan psikologisnya menjadi cukup berat sampai mengganggu aktivitas sehari-harinya,” ujarnya.

Selain itu, dari sisi orang tua, mereka dapat menyampaikan cinta dan dukungan pada anak, merangkulnya, dan menjadi pendengar yang baik. Mengajak anak untuk memeriksakan kondisi kesehatannya dan memberi pengertian agar anak bisa memahami bahwa upaya orang tua adalah demi kebaikannya.

Editor: PARNA
Sumber: detikhealth