Rokok masih menjadi masalah serius bagi dunia kesehatan di Indonesia. Belum juga selesai dengan masalah rokok tembakau, berbagai pihak yang peduli akan persoalan ini kini harus juga menghadapi ancaman rokok elektrik.

Dokter Spesialis Paru RSUD Dr. Mowardi Surakarta, Dr. dr. Yusup Subagio Sutanto, Sp.P (K), FISR, menjelaskan rokok elektrik pada mulanya dianggap aman bagi kesehatan karena tidak mengandung bahan-bahan berbahaya.

Bahaya rokok elektrik Namun, berkembangnya waktu, beberapa penelitian telah mengungkap bahwa rata-rata rokok elektrik sekarang mengandung pula zat-zat berbahaya bagi kesehatan yang dapat menyebabkan kematian.

“Untuk penggunaan rokok elektrik sebaiknya setop, jangan dipakai lagi, efek jeleknya sama saja dengan rokok kretek atau rokok filter,” jelas Yusup saat diwawancara Kompas.com, Minggu (22/3/2020).

Bahkan, kata dia, beberapa riset telah mengungkap rokok elektrik lebih berbahaya ketimbang rokok konvensional. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diketahui juga sudah tidak lagi merekomendasikan penggunaan rokok elektrik sebagai terapi pengganti nikotin atau rokok tembakau.

” Rokok elektrik juga merupakan pemicu kanker, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan penyakit jantung,” kata Yusup. Bukan hanya itu, berdasarkan informasi yang dia peroleh, Yusup mengungkapkan, tidak jarang ditemukan juga fenomena bahwa kadar nikotin pada rokok elektrik ternyata berbeda dengan informasi yang tertera di label isi ulang.

Hal itu jelas riskan mengingat tubuh bisa jadi terpapar lebih banyak nikotin yang merupakan zat adiktif berbahaya. “Rokok elektrik bahkan tidak ada lisensi dari lembaga yang memberi lisensi ACC atau tidak,” ungkap Yusup.

Menurut dia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia pernah mendapati sejumlah senyawa berbahaya yang terkandung di dalam maupun yang dihasilkan rokok elektrik.

Beberapa zat berbaya itu, antara lain:

  • Tobacco-specific
  • Nitrosamine (TSNAs) yang bersifat toksik
  • Diethylene Glycol (DEG) yang dikenal sebagai karsinogen
  • Logam berupa partikel timah, perak, nikel, aluminium, dan kromium di dalam uap elektrik dengan ukuran yang sangat kecil (nano-partikel) sehingga sangat mudah masuk ke dalam saluran napas di paru
  • Karbonil, yakni karsinogen potensial berupa formaldehida, asetaldehida, akrolein, dan senyawa organik volatil (VOCs) seperti toluena dan pm-xylene
  • Kumarin, tadalafil, rimonabant, serat silika yang dapat menjadi racun dan tidak memenuhi unsur keamanan
  • Diacetyl merupakan zat yang muncul sebagai sisa dari rokok elektrik adalah yang dapat merusak paru-paru
  • Zat benzene juga dilaporkan muncul dari rokok elektronik. Benzene diketahui adalah zat beracun yang bisa ditemui pada asap kendaraan bermotor dan logam berat “Oleh sebab itu, klaim rokok elektrik bisa membantu berhenti atau mengurangi konsumsi rokok tembakau adalah sebuah kekeliruan sekarang.

Rokok elektrik yang ada malah bikin makin kecanduan dan lebih membahayakan,” tegas Yusup.

Menambah perokok aktif dr. Yusup menilai keberadaan rokok elektrik justru berpotensi menambah jumlah perokok aktif.

Dia mendapati pengakuan dari banyak orang yang sebelumnya tidak pernah merokok akhirnya menjadi perokok karena tergiur dengan klaim awal penggunaan rokok elektrik yang aman.

Penambahan jumlah perokok akibat rokok elektrik disinyalir juga disokong oleh para mantan perokok “lawas” yang kembali merokok.

Di mana, para perokok tembakau yang sebenarnya sudah memutuskan berhenti merokok, akhirnya kembali merokok karena tergiur dengan adanya alternatif rokok elektrik. “Sama seperti yang terkandung pada rokok konvensional, nikotin pada rokok elektrik dapat membuat para penggunanya memiliki keinginan berlebih untuk merokok, dan mengalami gejala tertentu saat keinginannya itu tidak terpenuhi,” jelas Yusup.

Yusup menganjurkan para pengguna rokok elektrik maupun rokok konvensional segera berhenti melakukan kebiasaan merokok karena merugikan diri sendiri dan orang lain. “Bahaya merokok ini memang tidak langsung terasa setelah merokok.

Butuh waktu di atas 10 tahun dan yang jelas semakin banyak jumlah rokok yang dihisap, maka semakin berbahaya pula,” terang Yusup.

Editor: PARNA
Sumber: kompascom