JAKARTA – Penanganan virus corona jenis baru atau SARS-CoV-2 harus beradu cepat dengan waktu. Ahli kesehatan masyarakat Nadia Nurul mengungkapkan, peningkatan kasus hari ke hari menunjukkan penyebaran virus penyebab Covid-19 tak bisa dianggap enteng.

Apalagi temuan kasus di Indonesia tergolong rendah dikaitkan dengan populasi yang menduduki peringkat keempat dunia–267 juta jiwa. Ia menduga, sistem deteksi yang kini diterapkan belum mencerminkan keseluruhan kasus.

Itu sebab selain pembatasan sosial dan isolasi mandiri, Nurul menyarankan pemerintah menghimpun data lengkap melalui massive screening. Seluruh langkah harus disertai protokol teknis dan analisa kesiapan sistem kesehatan yang detail.

Yang juga tak boleh luput, transparansi data agar masing-masing daerah sigap menyusun dan menentukan kebijakan.

“Kita berpacu dengan waktu, kalau kita [Indonesia] terlalu lambat untuk memberlakukan kebijakan pembatasan dini, maka sistem layanan kesehatan pasti akan dipenuhi kasus-kasus covid. Dan nantinya, akan menjadi beban bersama yang harus dihadapi, dan angka kematian pun tak dapat dihindari akan meningkat drastis,” kata dokter dokter peraih beasiswa Fullbright tingkat master di Harvard School of Public Health.

Soal buramnya informasi Covid-19 di Indonesia ini juga dikeluhkan Wakil Ketua Umum Ikatan DOkter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi. Karena itu, sekali lagi ia meminta pemerintah pusat untuk membagi data dan melibatkan para ahli. Praktik serupa kata dia diterapkan pelbagai negara dunia dalam penanggulangan pandemi corona.

SARS-CoV-2 merupakan virus corona jenis baru. Jadi menurut Adib, karakter Covid-19 di Indonesia boleh jadi berbeda dibandingkan negara lain.

Adu Cepat Penanganan Pemerintah dengan Kerja Virus Covid-19

“Data ini perlu bagi kami di masyarakat ilmiah untuk memberikan support kepada pemerintah, bagaimana melakukan kajian untuk mengurangi kasus,” tutur Adib kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon.

Adib menjelaskan, data yang dimaksud bukanlah identitas pasien melainkan usia, penyakit bawaan, atau informasi lain untuk kajian medis. “Yang selama ini kesannya hanya menyampaikan data kematian saja. Tolong ini dibuka, okelah tidak perlu dipublished tapi paling tidak melibatkan tenaga profesi. … Ini tolong kami semakin diintensifkan untuk terlibat untuk sama-sama melakukan kajian sesuai dengan kompetensi kami di masyarakat ilmiah dan akademisi ini,” pinta dia.

Cepatnya penyebaran virus yang menjangkiti lebih 150 negara harus jadi alarm. Kondisi ini mestinya menuntun pemerintah bergegas mengambil kebijakan berbekal basis data dan analisis yang rigid.

Basis Data dan Fasilitas Pemeriksaan

Mari mengurai satu per satu yang masih perlu dilakukan. Pertama soal basis data kasus Covid-19 di Indonesia. Hingga kini temuan kasus masih tergolong rendah. Bahkan diperkirakan, ada kasus yang belum terlaporkan karena sistem deteksi dini yang terbatas.

“Ya jujur harus kami katakan, sistem deteksi dini kita masih lemah, Sehingga perlu ada percepatan akselerasi untuk cepat melakukan deteksi dini, cepat melakukan lokalisir, dan cepat membuat peta sebaran supaya kita mengatasi dengan segera,” kata Adib yang juga Ketua Pengurus Pusat Persatuan Dokter Emergency Indoensia (PP PDEI).

Karena semakin lambat kasus ditemukan, akan ada waktu untuk virus kian luas menyebar.

Metode penemuan sebanyak-banyaknya kasus ini juga dilakukan Korea Selatan. Hasilnya, laju sebaran kasus pun bisa dihambat dan angka kematian mampu ditekan. Langkah ini, menurut Nurul yang kini menjadi peneliti dan konsultan di Center for Indonesia Strategic Development Initiatives, harus diiringi protokol yang signifikan.

“Karena saat ini protokolnya [untuk skrining] masih, suspek atau orang dalam pemantauan itu harus punya riwayat bepergian ke luar negeri. Sedangkan mungkin dia bepergiannya ke Jakarta–di mana kasusnya sudah banyak dan sudah terjadi community transmission–jadinya sudah tidak relevan protokolnya dan bisa-bisa kasus itu tidak tersaring dan menyebar lagi ke masyarakat sehingga menyebabkan infeksi lebih luas,” jelas Nurul.

Kedua yang perlu dibereskan, soal fasilitas pemeriksaan. Untuk mengumpulkan data di atas maka pemerintah harus memastikan kesiapan lab pemeriksaan. Saat ini ada 12 laboratorium pemeriksaan yang diaktifkan–bertambah dari yang semula hanya di Balitbangkes Kemenkes.

Agar lebih masif, Nurul pun menyarankan pemerintah mengaktifkan 44 laboratorium guna memperluas jejaring pemeriksaan Covid-19. Tapi lagi-lagi, langkah ini membutuhkan ‘daya’ yang besar. Pemerintah perlu mengecek mulai dari peralatan hingga ketrampilan tenaga kesehatan.

Adu Cepat Penanganan Pemerintah dengan Kerja Virus Covid-19

Fasilitas dan Tenaga Kesehatan

Selanjutnya, dari segi kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan. Pemerintah diminta tak hanya mengumumkan jumlah rumah sakit melainkan juga detail kelengkapannya.

Harus dihitung daya tampung untuk pasien Covid-19, ruang isolasi, ICU, hingga fasilitas khusus–misalnya ventilator.

“Sudah disebutkan ada 132 rumah sakit. Tapi itu harus sampai detail, dari 132 rumah sakit, ada berapa bed yang siap menerima kasus covid. Karena sangat berbeda ketika kita menyebut 132 rumah sakit, tapi bed yang bisa menerima kasus covid itu terbatas,” tutur Nurul.

Keempat, soal kecakapan tenaga kesehatan baik di pusat maupun daerah. Sebab mau tak mau, untuk menanggulangi penumpukan pasien, pemberdayaan puskesmas dan isolasi mandiri untuk kasus dengan gejala ringan akan jadi pilihan. Karena rumah sakit hanya diperuntukkan bagi pasien dengan gejala berat atau kondisi parah.

Jika begitu, isolasi mandiri pun perlu pengawasan dan pemantauan rutin tenaga kesehatan. Itu sebab Nurul mengingatkan, perlu protokol dan sosialisasi menyeluruh.

“Kasus dengan gejala ringan itu sudah ada guideline-nya dari WHO, bisa dirawat di rumah. Ada juga kasus dengan gejala berat tapi rumah sakit benar-benar penuh, itu sudah ada protokol juga dari WHO bagaimana menangani. Itu yang harus disebarluaskan dan dilatih ke tenaga kesehatan di daerah supaya mereka juga tidak panik dan kebingungan,” jelas dia.

Selanjutnya, yang juga ditekankan adalah jaminan alat pelindung diri (APD) untuk tenaga kesehatan. Alur birokrasi di tengah kondisi ini, menurut Nurul, yang kadang jusru membuat rumah sakit ataupun tenaga kesehatan merasa tak siap.

“Dan tidak tahu apa yang dilakukan. Beberapa juga ada yang mengeluh, alat pelindung dirinya pun belum disiapkan dengan cukup. Ini adalah hal-hal yang perlu menjadi perhatian besar pemerintah pusat dan daerah, jangan sampai birokrasi memperlambat upaya untuk menyiapkan tenaga kesehatan,” tutur dia.

Adu Cepat Penanganan Pemerintah dengan Kerja Virus Covid-19

Senada disampaikan Adib Khumaidi. Karena itu penting bagi pemerintah untuk merinci segala detail.

“Kalau semua rumah sakit, kalau dibilang siap, ya siap … Yang harus dilakukan, identifikasi pemetaan kebutuhan riil dan estimasi outbreak. Karena ini nanti juga berdampak ke kebutuhan SDM. Sekarang teman-teman kami di lapangan, di rumah sakit rujukan, sudah mulai membutuhkan tenaga tambahan,” ungkap Adib.

“Dan mengantisipasi juga, dengan menyiapkan salah satu tempat untuk dijadikan rumah sakit yang khusus untuk perawatan covid dengan fasilitas yang memang untuk covid,” sambung dia.

Editor: PARNA
Sumber: CNN Indonesia