JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil. Sejumlah aturan hukum dalam RUU yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 di DPR itu dinilai diskriminatif dan mereduksi peran perempuan.

Misalnya, seperti pada Pasal 25 ayat (3) RUU Ketahanan Keluarga, yang mengatur kewajiban istri (perempuan) dalam berumah tangga.

Dalam beleid itu, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Pula, menjaga keutuhan keluarga.

Selain itu, istri juga wajib memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi mengatakan ketentuan dalam Pasal 25 RUU Ketahanan Keluarga, terdiri tiga ayat, merupakan yang paling bermasalah.

Ika menyatakan aturan ini semakin melembagakan peran suami dan istri (perempuan) dalam urusan domestik keluarga. Suami berperan sebagai kepala keluarga, sementara istri wajib mengatur urusan rumah tangga.

“RUU ketahanan keluarga akan membuat struktur fungsi (suami istri) yang sangat diskriminatif,” kata Ika di Jakarta, Kamis (20/2).

Ika menyebut struktur suami kepala keluarga dan istri urus rumah tangga dalam RUU Ketahanan Keluarga ini justru akan melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Perempuan Mahardhika sendiri baru saja merilis hasil penelitian KDRT pada Buruh Perempuan. Penelitian dilakukan sepanjang September sampai Desember 2019.

Dari hasil wawancara kepada 28 buruh yang menjadi korban KDRT, kata Ika, mereka memilih bertahan dalam lingkar kekerasan yang dialaminya. Menurutnya, alasan utama mereka adalah karena menganggap laki-laki sebagai kepala keluarga.

“Mereka memaknai pernikahan atau perkawinan sebagai bentuk pengabdian perempuan terhadap norma yang berkembang di masyarakat (laki-laki kepala keluarga),” ujarnya.

“Struktur fungsi laki-laki kepala keluarga, perempuan (istri) ibu rumah tangga atau memenuhi suami dan anak keluarga ini membuat perempuan (istri) akan sulit keluar dari lingkar kekerasan dalam keluarga yang dialaminya.”

Ika menyebut fakta kekerasan perempuan dalam rumah tangga ini bahkan tak masuk dalam pertimbangan dalam RUU tersebut. Padahal berdasarkan catatan Komnas Perempuan, KDRT dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan menempati posisi teratas.

Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 406.178 pada 2019. Dari jumlah itu, KDRT menempati urutan pertama yaitu sebesar 9.637 kasus atau 71 persen.

“Jadi dia (RUU Ketahanan Keluarga) sangat mengabaikan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan,” tuturnya.

Lebih lanjut, Ika juga menyoroti hak cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan untuk perempuan.

Masalah cuti melahirkan ini diatur dalam Pasal 29 (1), yang menyebutkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) wajib memberikan hak cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan tanpa kehilangan gaji serta pekerjaan.

Sementara RUU ini tak memuat kewajiban bagi perusahaan swasta untuk memberikan hak cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan untuk perempuan (istri).

Ia meyakini implementasi cuti melahirkan ini akan sulit karena bertentangan dengan ketentuan dalam RUU (Omnibus Law) Cipta Kerja. Menurutnya, RUU Ciptaker akan lebih kuat diimplementasikan daripada RUU Ketahanan Keluarga.

Namun, katanya, hak cuti melahirkan ini juga tetap tak bisa membebaskan perempuan yang sudah terikat dengan urusan domestik rumah tangga.

“Kita jangan terkecoh hak cuti hamil enam bulan. Tidak memberikan hak perempuan, tetapi melanggengkan domestikasi terhadap perempuan,” ujarnya.

Langgar HAM

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan beberapa ketentuan dalam RUU Ketahanan Keluarga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Ia tak sepakat jika urusan domestik keluarga sampai diatur dalam undang-undang.

“Dalam titik tertentu misalnya perempuan harus di rumah, setiap orang berhak menentukan sendiri, aneh juga itu harus diatur,” kata Feri.

Feri berpendapat masalah relasi rumah tangga merupakan urusan antara suami dengan istri. Menurutnya, biarkan masing-masing keluarga menentukan pilihan untuk menjalankannya.

“Ada suami kami di rumah jaga keluarga, ada juga suami di rumah, istri yang kerja. Ada yang sepakat keduanya bekerja,” ujarnya.

Feri menyatakan RUU Ketahanan Keluarga ini tak perlu ada. Ia menyebut banyak hal lain yang perlu diatur, ketimbang urusan domestik keluarga. Menurutnya, salah satu yang harusnya dibicarakan adalah RUU Ibu Kota Baru.

“Negara bisa masuk dalam ruang yang merugikan publik. Kalau privat masuk itu kesalahan fatal dan tentu melanggar HAM,” tuturnya.

Editor: PARNA
Sumber: CNN Indonesia