JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) mencurigai penghentian 36 perkara di tahap penyelidikan merupakan bagian dari penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlebih, menurut ICW, Ketua KPK, Firli Bahuri merupakan polisi aktif yang dikhawatirkan memiliki konflik kepentingan.

Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Wana Alamsyah, mengatakan kecurigaan tersebut berdasarkan keterangan yang disampaikan KPK mengenai perkara yang dihentikan berkaitan dengan korupsi, satu di antaranya melibatkan aparat penegak hukum.

“Jangan sampai pimpinan KPK melakukan abuse of power dalam memutuskan penghentian perkara,” kata Wana kepada CNNIndonesia.com melalui keterangan tertulis, Jum’at (22/2).

“Apalagi ketua KPK [Firli Bahuri] merupakan polisi aktif sehingga dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan pada saat menghentikan kasus tersebut terutama yang diduga melibatkan unsur penegak hukum,” lanjutnya.

Wana menyatakan pihaknya sudah memprediksi penghentian kasus di tangan Firli jauh-jauh hari. Apa yang baru saja terjadi, menurut dia, semakin menegaskan bahwa kinerja KPK di bawah kepemimpinan jenderal bintang tiga itu dipertanyakan.

“Kondisi KPK saat ini telah membuat masyarakat pesimis dengan kinerja pimpinan KPK,” kata Wana.

Aktivis antikorupsi ini juga menanyakan keterlibatan sejumlah unsur dalam penghentian penyelidikan 36 perkara. Wana menjelaskan bahwa penghentian perkara di ranah penyelidikan semestinya melalui gelar perkara yang melibatkan sejumlah unsur, seperti tim penyelidik, tim penyidik, hingga tim penuntut umum.

“Apabila ke-36 kasus tersebut dihentikan oleh KPK, apakah sudah melalui mekanisme gelar perkara?,” ucap Wana.

Sementara itu, Firli Bahuri menampik seluruh tudingan ICW. Melalui keterangan tertulis, ia mengatakan penghentian perkara semata demi terwujudnya kepastian hukum.

“Tujuan hukum harus terwujud, kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan,” katanya.

Firli berpendapat, jika 36 perkara di tahap penyelidikan yang tidak memiliki bukti kuat tetap dinaikan ke tingkat penyidikan, hal itu menurutnya sama saja dengan menakut-nakuti para pencari kepastian hukum dan keadilan.

“Kalau bukan tindak pidana, masa iya tidak dihentikan. Justru kalau tidak dihentikan maka bisa disalahgunakan untuk pemerasan dan kepentingan lainnya,” ujar dia.

Editor: PARNA
Sumber: CNN Indonesia