JAKARTA – Peraturan Financial Fair Play (FFP) UEFA merupakan regulasi yang kerap menjegal ambisi klub-klub besar Eropa.

Tujuan utama dari FFP mencegah pengeluaran klub sepak bola profesional lebih dari pemasukan mereka dalam mengejar kesuksesan. Karena UEFA berpikir masalah keuangan bisa mengancam masa depan klub.

Konsep FFP ini kali pertama diperkenalkan Komite Eksekutif UEFA pada September 2009 dan diberlakukan mulai musim 2011/2012. Salah satu faktornya karena saat ini sejumlah klub sepak bola di Benua Biru mengalami kondisi keuangan yang memburuk. FFP dimunculkan agar sepak bola membaik dari segala aspek.

Sejak diberlakukan, klub dilarang melakukan pembelanjaan pemain di luar kemampuan mereka, total pendapatan yang dikurangi pengeluaran juga tidak boleh memiliki hasil minus.

Dalam hal ini, pengeluaran yang dimaksud adalah biaya transfer serta gaji pemain dan staf. Akan tetapi, biaya pengembangan usia muda tidak masuk hitungan dalam aturan ini.

Walau begitu, UEFA masih memberikan toleransi kepada klub-klub tersebut untuk tidak merugi hingga 45 juta euro dalam tiga musim, atau 15 juta euro di setiap musimnya.

Dalam lima tahun pertama setelah diperkenalkan pada 2009, kerugian klub dan utang yang jatuh tempo dari klub-klub di divisi teratas Eropa menurun hingga kurang dari 20 persen.

Hukuman beragam disediakan UEFA bagi klub pelanggaran aturan financial fair play ini. Sanksi itu akan diberikan berdasarkan pelanggaran yang dilakukan klub-klub tersebut.

Sanksi dalam financial fair play ini dimulai dari peringatan tertulis, denda, pengurangan poin, tidak mendapat bonus kompetisi UEFA, tidak boleh mendaftarkan pemain baru di kompetisi UEFA, pembatasan pendaftaran pemain di kompetisi UEFA, diskualifikasi dari kompetisi yang sedang berlangsung, hingga skorsing tidak boleh ikut kompetisi UEFA dalam beberapa tahun.

Meski memiliki dampak nyata, tidak sedikit klub-klub besar Eropa yang mencoba ‘membandel’ terhadap aturan FFP ini.

Manchester City, Paris Saint-Germain, dan AC Milan merupakan raksasa Eropa yang pernah berurusan dengan masalah FFP ini.

Sejak diambilalih Abu Dhabi United Group Investment and Development Limited pada September 2008, Man City terus berupaya membangun kekuatan baru di Eropa.

Transfer besar dan menarik dilakukan The Citizens setiap musim, namun gelar Eropa baik Liga Champions maupun Liga Europa tidak kunjung ‘mampir’ ke Etihad.

Lebih dari satu dekade usai pengambilalihan itu Man City justru tersandung masalah FFP. Manchester Biru dianggap memanipulasi data-data FFP antara 2012-2016.

Imbasnya, UEFA menjatuhkan sanksi berat kepada Man City dengan larangan bermain di Liga Champions dan Europa pada musim 2021/2022 dan 2022/2023.

Financial Fair Play, Hukum Penjegal Ambisi Klub Besar Eropa
Nasib serupa dialami PSG. Qatar Sports Investment menguasai Les Parisiens pada Maret 2012. Tujuannya sama dengan Man City, menjadi penguasa Eropa.

Akan tetapi, hingga kini PSG hanya sukses menjadi penguasa di level domestik. Di turnamen Eropa PSG tidak pernah mencapai semifinal Liga Champions.

Hanya saja, nasib PSG berbeda dengan Man City. Meski dalam beberapa musim belakangan melakukan transfer gila-gilaan seperti mendatangkan Neymar dan Kylian Mbappe dengan harga yang fantastis, PSG tetap dinyatakan tidak melanggar FFP.

Sementara itu, karena gagal menyeimbangkan neraca keuangan pada periode 2014-2017, Milan dilarang tampil di kompetisi Eropa selama dua musim pada 2018/2019 dan 2019/2020.

Hukuman FFP itu tidak melulu menyasar klub besar Eropa. Pada 11 September 2012 UEFA menjatuhkan hukuman pertama untuk masalah FFP ini kepada 23 klub. Di antara 23 itu terdapat Sporting Lisbon, Atletico Madrid, Rubin Kazan, CSKA Sofia, hingga Maccabi Tel Aviv.

Editor: PARNA
Sumber: CNN Indonesia